Bajak Laut??... ternyata kenyataan
Friday, March 1, 2013
0
comments
asal muasal kata "Lanun"
FOLKLOR KANGEAN:
SUATU KAJIAN CERITA BAJAK LAUT (LANUN)
SEBAGAI SUMBER SEJARAH KAWASAN
Abd. Latif Bustami
Abstract: This article discusses the pirate folklore as regional historical
sources in the Kangean island. The stories of pirates may explain
the history of people settlement and power relation with political,
economic, and cultural aspects between the Kangean island and
the other regions in entering the world system. The result of this interaction
shows an integration process in this region. The Kangean
people have cultural strategies to reduce pirates by producing handmade
cake (jejen lanun). The cake has two meanings: realistic and
symbolic meanings. This symbolic adaptation strategy has potentially
made social integration possible. The use of a historical-sources-based
critique of the pirate stories has yielded s research result showing that
the stories may be taken as historical sources for regional historiography.
Key words: Kangean, pirate folklore, regional historical sources,
regional historiography.
Pulau Kangean secara administratif termasuk Kabupaten Sumenep,
Madura. Kabupaten Sumenep terbagi menjadi dua wilayah, yaitu daratan
(dereden) dan kepulauan (polo). Pembagian wilayah ini berhubungan
konstruksi orang dari kedua wilayah itu, yaitu orang daratan (oreng dereden)
dan orang pulau (oreng polo). Konstruksi menentukan hubungan
Abd. Latif Bustami adalah Dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Negeri
Malang. Dosen Luar Biasa dalam Matakuliah Kebudayaan dan Institusi Lokal; Antropologi
Agama; Hubungan Antarsukubangsa; Perubahan Sosial dan Pembangunan Program
Pasca-sarjana, dan Folklor Indonesia pada Program D3 Pariwisata FISIP UI.
268 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
antarkedua wilayah tersebut. Orang daratan memandang lebih tinggi dari
orang kepulauan, sedangkan orang kepulauan menyebut orang daratan
dengan orang negara yang dijadikan acuan dalam bertingkah laku (oreng
nagera).
Cara pandang orang itu berhubungan dengan interaksi antara pusat
kekuasaan dengan bagian wilayah kekuasaan. Pusat kekuasaan sejak
Sumenep di bawah Singasari sampai saat ini berada di Sumenep daratan
(Bustami 1990: 66-77; 1997:323-330). Pada masa kasultanan Sumenep
dan kolonial, Pulau Kangean dijadikan sebagai tempat pembuangan lawan-
lawan politik penguasa lokal dan kolonial serta narapidana (Farjon
l980: 21-22; Arsip Nasional 1978:CLXX, 247). Pulau Kangean merupakan
Australianya Madura .
Penduduk Pulau Kangean berjumlah 78.468 jiwa, dengan kepadatan
penduduk sebesar 173,11 orang per km, angka ketergantungan 93,66 %,
dan jumlah rumah tangga sejumlah 22.300 buah. Orang Kangean seluruhnya
beragama Islam (Sumenep dalam Angka 1999: 15-17; 73). Ajaran
Islam diinterpretasi dan diaktualisasikan dalam kerangka kebudayaan
Kangean sehingga terjadi variasi. Secara kultural, Pulau Kangean memiliki
kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan Madura
(Bustami 2001:7-9). Perbedaan itu nampak pada bahasa, asal usul, dan
identitas sosial. Bahasa Kangean mempunyai tingkatan bahasa ako-kao,
nira-nae, dan kaule-panjennengan. Konstruksi ako-kao, eson-sede, esonkakeh
merupakan komunikasi yang dipergunakan oleh seseorang yang
sederajat dan teman akrab. Konstruksi nira-nae, die-dika digunakan oleh
mertua kepada menantu dengan tujuan penghormatan sedangkan kaulepanjennengngan
ditujukan kepada seseorang yang lebih tua, tidak sederajat
sebagai penghormatan. Konstruksi yang terkahir ini disebut besa alos
(bahasa tenggi) dan didominasi oleh bahasa Madura (Bustami 2003: 73-
74).
Asal-usul orang Kangean merupakan campuran orang-orang yang
berasal dari Madura, Sapudi (Podey) -Raas, Eropa, Cina, Arab, Banjar,
Melayu, Bawean, Jawa, Bali, Bugis-Makassar, Mandar, Mangindanao,
dan Sulu. Kedatangan orang Madura, Sapudi-Raas di Pulau Kangean berhubungan
dengan faktor pekerjaan, perdagangan, dan perkawinan. Orang
Eropa berhubungan dengan pemantapan kolonialisme dan penyebaran
agama Kristen Protestan. Di Pulau Kangean terdapat kampong Pandita
Bustami, Folklor Kangean 269
lengkap dengan bangunan berarsitektur Eropa sebagai bukti adanya kegiatan
misi Kristen. Kedatangan orang Cina berhubungan dengan faktor
pelarian politik dari Batavia yang terjadi pada akhir abad ke-19 (Bustami
2001:8; 2003:74). Keturunan orang Cina yang berjenis kelamin laki-laki
disebut encek dan yang perempuan (ennya ), sedangkan yang keturunan
Arab yang laki-laki disebut iyye dan perempuan (saripah). Orang Jawa
didatangkan oleh Belanda di Kangean pada abad ke-19 untuk menanam
kayu jati sehingga wilayah pemukiman mereka disebut kampong Jebe,
yang tersebar di Kampong Ramo Salengka , Desa Sabesomor, dan Desa
Torjek. Orang Bali tersebar di pantai selatan Kangean karena perdagangan
dan perluasan kekuasaan politik. Orang Bugis-Makassar, Mandar, Mangindanao,
dan Sulu tersebar di pantai utara Pulau Kangean. Konstruksi
bangunan rumah, kosa kata, cara menyapa dan cara menyebut dalam
kekerabatan, dan upacara-upacara menguatkan asal-usul orang Kangean
yang majemuk.
Orang-orang Pulau Kangean memiliki ceritera tentang terjadinya
pemukiman di atas bukit (dera ) dan pesisir (paseser) dihubungkan
dengan lanun (bajak laut). Pemukiman di atas bukit muncul untuk
menghindari serangan bajak laut, sedangkan di pesisir merupakan pemukiman
para bajak laut. Pada perkembangan selanjutnya mulai terbentuk
pemukiman di antara kedua wilayah itu, yaitu lembah (lembe). Saat ini di
ketiga wilayah pemukiman itu terjadi akulturasi kebudayaan dan belum
membentuk masyarakat multikultural.
FOLKLOR LANUN SEBAGAI SUMBER SEJARAH KAWASAN
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar
dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat
(memonic device) (Danandjaja. 2002:2). Brunvand mengklasifikasikan
floklor menjadi tiga bentuk, yaitu lisan, setengah lisan atau sebagian lisan,
dan bukan lisan (Danandjaja 2002: 21-207). Mengacu pada pembagian
folklor itu, maka folkor Kangean tentang cerita lanun termasuk
folklor lisan dan folklor sebagian lisan. Folklor lisan karena pewarisannya
dilakukan secara lisan, sedangkan folklor sebagian lisan karena proses
pewarisan secara lisan itu dan sebagian diwujudkan dalam bentuk ma270
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
kanan (jejen lanun). Jejen lanun itu merepresentasikan strategi simbolis
orang Kangean untuk melawan lanun (Bustami 2002).
Salah satu bentuk foklor lisan adalah cerita prosa rakyat. Bascom
memfokuskan bentuk cerita prosa itu pada mite, legenda, dan dongeng
(Danandjaja 2002:50). Cerita lanun orang Kangean tidak termasuk ketiga
bagian itu karena cerita itu tidak berhubungan dengan sesuatu yang dianggap
suci, cerita itu terjadi, dan bukan dongeng. Menurut saya, fenomena
bajak laut (lanun) merupakan cerita orang Kangean sebagai respon terhadap
kehidupan sosial budaya mereka. Informasi tentang aktifitas lanun di
Pulau Kangean bukan hanya dinyatakan dalam cerita lisan atau sebagian
lisan melainkan juga dibuktikan dari catatan pelaut dan musafir asing
(Cortesao 1944; Lapian 1987; 1999: 89-92; Lombard 1996, Jilid 2: 77 )
serta arsip-arsip kolonial Belanda (Koloniaal Verslag 1850: 18; Hoëvell
1851: 158-165; Hageman 1858: 321-352; Waal 1879:17-108; Meyier
1905:1-90; Roon 1917:264-273; Graaf 1940: 56-58).Farjon keliru mencantumkan
nomor halaman karya Hageman Bijdragen tot de kennies van
de residentie Madoera , TNI 20 (l858) Volume I, halaman 320-353 (Farjon
1980: 5) seharusnya halaman yang dimaksud adalah 321-352 (Hageman
1858: Vol.I:321-352). Cerita lanun itu berada dalam wilayah profan.
Dengan sendirinya pembagian cerita prosa rakyat pada mite, legenda,
dan dongeng perlu dikoreksi dan ditambah dengan cerita rakyat (Bustami
2002).
Cerita lanun itu menjelaskan tentang sejarah pemukiman penduduk,
dan relasi kekuasaan dengan kekuatan politik, ekonomi, dan kebudayaan
orang Kangean dengan masyarakat dari berbagai kawasan dan tergabung
dalam sistem dunia. Di sisi lain berbagai kekuatan itu menjelaskan terjadinya
proses integrasi di kawasan Kangean. Dengan sendirinya cerita lanun
itu bisa dijadikan sebagai salah satu sumber sejarah kawasan. Sejarah kawasan
dipakai untuk menggantikan istilah sejarah lokal yang menurut
saya a historis. Sejarah lokal yang disusun oleh Abdullah, dkk (l984),
pada awalnya diposisikan sebagai antagonis dan resistensi terhadap sejarah
nasional yang disusun oleh Poesponegoro, dkk (1977; 1984). Sejarah
nasional pada dasarnya sejarah kawasan yang diinterpretasi dan dikonstruksi
sebagai nasional oleh para penyusunnya. Boleh jadi, istilah lokal
digunakan untuk menyederhanakan konsep yang berbeda dengan nasional.
Secara historis, kelokalan sejatinya merujuk pada konsep nasional bahkan
Bustami, Folklor Kangean 271
global. Studi-studi antropologis membuktikan bahwa proses globalisasi
berlangsung sejak masa lalu di mana setiap masyarakat di muka bumi ini
merupakan suatu masyarakat global (Sahlins 1994: 387). Sejarah lokal
mengabaikan adanya interaksi orang yang mendiami suatu wilayah dengan
kekuatan sejarah dari luar wilayah melalui jalur perdagangan, rute pelayaran,
kondisi ekologis kemaritiman, dan kepentingan politik budaya
(Lapian 1992; 1999).
Historiografi tentang sejarah kawasan yang diberi label lokal dengan
menjadikan folklor sebagai sumber sejarah dilakukan oleh de Graaf
dan Pigeaud (l985). Sejarah kawasan bisa dinyatakan sebagai sejarah total
(Azra 1999: 65-78) sebagaimana yang telah dilakukan oleh Annales
School, Perancis, Fernand Braudel (1976), Chudury (1988), Lombard
(l996), dan Reid (1992; 1999; 2004). Wallerstein penggagas teori sistem
duniapun dipengaruhi oleh Fernand Braudel (Wallerstein 1974). Pengaruh
Braudel di Indonesia nampak pada Tjiptatmodjo, Lapian, Azra. Tjiptoatmodjo
meneliti sejarah kawasan di Selat Madura pada abad ke-17 sampai
dengan abad ke-l9 (Tjiptoatmodjo 1983). Lapian mengembangkan sejarah
maritim dan mengaplikasikannya dengan meneliti Laut Sulawesi ( Lapian
1987) dan Laut Sawu (Lapian: 1992) sebagai saluran integrasi kawasan
tersebut bahkan dia berkesimpulan bahwa nusantara merupakan silang bahari
(Lapian 1999: 79-92). Azra (l996) meneliti tentang jaringan ulama
Nusantara dan Timur Tengah.
Sejarah kawasan dapat menyajikan sejarah otonom khas Indonesia
yang tidak terjebak pada pendekatan maritim atau darat bahkan udara tergantung
karakteristik kawasan dan periodesasi yang dipilih. Lapian terpesona
dengan kondisi bahari Indonesia sehingga menggagas pentingnya sejarah
maritim dengan pendekatan unit kelautan sehingga mengabaikan potensi
darat. Lapian terlalu berpikir dikotomis laut dan darat serta menjadi
laut sebagai pusat terjadinya sinergi integrasi ribuan pulau di Indonesia
(Lapian 1992). Pertumbuhan wilayah laut dan darat menjadi satu kesatuan
sebagai interaksi berbagai aspek kehidupan secara timbal balik, kemudian
melebar dan meluas dengan berinteraksi dengan kawasan lainnya dalam
jaringan yang lebih luas menjadi jaringan sistem ekonomi dunia (Wallerstein
1974). Cerita lanun di Kangean menunjukkan adanya perubahan kehidupan
di darat terutama pemukiman di dataran tinggi (kampomg dera ),
dan pesisir (kampong paseser). Sebelum datangnya lanun mereka ber272
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
mukim di pesisir dan dengan kehadiran lanun mereka lari ke atas. Pusat
kekuasaan sampai saat ini tetap berada di atas dan sebagian berpindah ke
bawah bahkan mendirikan pusat kekuasaan di antara pusat kekuasaan
yang telah ada, yaitu lembah (kampong lembe).Pusat-pusat kekuasaan itu
hadir dengan segala atribut-atribut sebagai legitimasi kekuasaan. Di
kalangan orang tua selalu menceritakan keberadaan lanun di wilayah Pulau
Kangean. Walaupun begitu, folklor sebagai sumber sejarah kawasan
membutuhkan kritik sumber dan dikomparasikan dengan sumber sumber
sejarah lainnya (Burke 1999).
Pulau Kangean menunjukkan adanya interaksi dengan berbagai kekuatan
politik, kebudayaaan, dan ekonomi dengan Madura, Jawa, Filipina
Selatan, Eropa, Asia Barat, Asia Timur, Bugis-Makassar, Mandar, dan
Bajo atau Bajau (Bustami 2002; 2003; Lapian 1987; 1992; 1999). Penyebaran
orang Bajo orang perahu di Asia Tenggara termasuk meliputi seluruh
nusantara telah dikaji oleh Sopher (l965). Di Pulau Kangean terdapat
konsentrasi pemukiman penduduk orang Bajo yang dalam karya itu tidak
dicantumkan (Bustami 2001). Keberadaan mereka di wilayah ini berkaitan
dengan perompakan dan jalur pelayaran. Rute pelayaran menciptakan jaringan
perdagangan atau sebaliknya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
sehingga terjadi pelayaran antarkampung, antarpulau, antar wilayah
yang lebih luas, dan internasional. Jalur pelayaran antara persekutuan
kampung-kampung itu menciptakan sebuah jaringan komunikasi yang
mempersatukan wilayah perairan bersangkutan (Lapian 1999: 88-89).
Orang Bajo menurut Tome Pires (dekade ke-2 abad ke 16) yang
mengatakan bahwa mereka merompak sampai ke Pegu di sebelah barat
dan ke Maluku,Banda di sebelah timur. Mereka mengunjungi pulau-pulau
sekitar Jawa dan mengelilingi Pulau Sumatera. Barang dagangan dan hasil
rampasan dibawa ke Jumaia (di Pulau Tujuh) tempat mereka memasarkannya
(Cortesao 1944). Bisa jadi, keperkasaan perompak di kawasan
Melayu itu mengilhami penulisan karya sastra di Italia, Eropa pada abad
19, Aux origines du thème du Pirates malais (Lombard 1993), seperti
Emilio Salgari (Rivai 1999: 383-412). Karya Salgari yang bertemakan perompak
Melayu dan Bajak laut, yaitu ciclo dei Pirati della Malesia atau
ciclo Indo-Malese (Seri Perompak Melayu) dan ciclo dei Corsari (seri bajak
laut). Kemahiran orang Bajo diteruskan oleh pelaut Melayu yang kemudian
meluaskannya usahanya sampai ke sebelah timur, termasuk orang
Bustami, Folklor Kangean 273
Bugis (Pelras 1996:49; 74-75). Rute pelayaran menunjukkan hubungan
kekuatan yang berganti-ganti dan kemudian orang Bajo mengikuti orang
Bugis sampai ke perairan Australia (Lapian 1999: 90). Lombard menyatakan
bahwa tempat-tempat orang Bajo saat ini berada di lokasi pangkalanpangkalan
lanun abad ke-19 (Lombard 1999, Jilid 2: 77). Lapian mengajukan
sebuah hipotesis yaitu jaringan operasi perompak lanun dari
Filipina Selatan yang menyerang Pulau Kangean dan Bawean serta tempat-
tempat lain itu memanfaatkan jalur pelayaran yang telah di-rintis oleh
orang Bajo. Menurut saya, aktifitas lanun Asia Tenggara berinteraksi
dengan jaringan lanun internasional yang berpusat di Laut Merah (Henry
Every), Laut Karibia (Edward English), Carolina Selatan (Stede Bonnet),
dan Kawasan Pantai Utara Australia (Botting 1978).
MENJADI BAJAK LAUT (LANUN)
Istilah lanun berasal dari bahasa Mangindanao, yang berarti orang
Danau, yaitu Lanao, wilayah yang terletak di tengah Pulau Mindanao,
Filipina Selatan. Mereka adalah seasal dengan sukubangsa Maranao yang
mendiami wilayah sekitar Lanao. Orang Spanyol menyebut Illano atau Illanun
terhadap orang Maranao, Mangindano, Tausug dan Samal (di Kepulauan
Sulu) sedangkan orang Tausug menyebut semua orang Mangindano,
Maranao, dan Ilanun sebagai Iranun (Lapian 1987:253). Rekonstruksi historis
menunjukkan bahwa orang Mangindano melakukan kegiatan bajak
laut dan menguasai wilayah perairan Riau, Lauat Jawa, Selat Sulawesi
sampai dengan Papua (Wall 1879: 17-108). Khusus, kebudayaan suku
Tausug ada kemiripan dengan Madura dalam hal kekerasan, penegakan
harga diri, dan pertunjukan keperkasaan laki-laki (Wiyata 2000). Masyarakat
yang menjadi sasaran bajak laut Mangindano menyebut kegiatan
bajak laut dengan lanun. Kosa kata lanun menjadi kosa kata baru di wilayah-
wilayah yang menjadi sasaran bajak laut Mangindano. Pada tahapan
berikutnya terjadi rivalitas antara bajak laut Balangingi (nama pulau dari
gugusan Pulau Samales yang merupakan bagian dari Kepulauan Sulu
antara Pulau Jolo dan Basilan), Papua, Tobelo (Halmahera), Johor sehingga
di wilayah kekuasan mereka terdapat kosa kata baru yang masingmasing
Balangingi, Belo, Johoro dari Joho dan lanong (lanun) yang semuanya
mempunyai arti bajak laut (Lapian 1987). Istilah lain dari bajak
laut adalah gorra (perampok), patadi-tadi (tadi -tadi adalah perahu kecil
274 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
yang dulu dipakai nodong). Balangingi dalam bahasa Makassar sekarang
dipakai untuk menyebut seseorang yang berperilaku kasar atau kurang
ajar. Dalam bahasa Sangir dikenal istilah malanginging untuk menyebut
orang Mangindano sebagai bahasa sasahara (tabu menyebut Mangindano
terutama ketika di tengah laut). Dengan sendirinya dalam perkembangan
selanjutnya, terdapat berbagai istilah yang menunjuk pada wilayah asal
dan kegiatan bajak laut, seperti lanun, Balangingi, Belo, dan Johoro. Lanun
sebagai kosa kata masyarakat yang menjadi sasaran bajak laut
khususnya dari Mangindano dan digunakan untuk menyebut bajak laut.
Bajak laut oleh orang Kangean disebut lanun. Artinya, di wilayah ini kegiatan
bajak laut dilakukan oleh orang Mangindano. Munculnya kosakata
itu berhubungan dengan latarbekalang kesejarahan masyarakat setempat
dalam hal ini bajak laut. Lapian belum menjelaskan relasi antara istilah
masyarakat setempat untuk menyebut kegiatan bajak laut dengan asal bajak
laut (1987:261-267). Pertalian istilah lanun dengan orang Mangindanao
bisa diamati dengan jelas di Pulau Kangean (Bustami 2002).
Bajak laut (lanun) sering diidentikkan dengan pirata (bahasa Spanyol,
Portugis, dan Italia), pirate (bahasa Inggris dan Perancis), piraat atau
zeerover (bahasa Belanda), pirat atau Seerauber (bahasa Jerman). Pengertian
pirata berbeda dengan korsario (bahasa Perancis corsair; Inggris corsair
atau privateer; Spanyol, Portugis dan Italia corsario; Belanda corsair
atau kaper. Seorang korsario melakukan tindakan kekerasan di laut dengan
membawa kewenangan negara (lettre de marque) ketika terjadi peperangan
antardua negara. Perbedaan antara pirata dan korsario sangat tipis
karena korsario bermotif politik sedangkan pirata berada dalam tataran
kriminal. Pirata merupakan fenomena yang terjadi di Laut Tengah jauh
sebelum ada korsario yang dikenal sejak abad ke 15. Ada korsario berwajah
pirata dan ada pirata yang berperangai sebagai korsario (Lapian
1987: 217-218). Bajak laut mencakup kedua pengertian tersebut. Bajak
laut adalah orang yang melakukan kekerasaan di laut tanpa mendapat
wewenang dari pemerintahanya untuk melakukan tindakan itu Pirata
communis hostis omnium (Bajak laut musuh bersama ummat manusia).
Munculnya bajak laut menurut pemikiran kaum evolusionis merupakan
kelanjutan dari perburuan, tingkat ekonomi yang paling awal. Perburuan
bagi masyarakat bahari berupa penangkapan ikan yang selanjutnya
berkembang pada penangkapan segala sesuatu yang ditemukan di laut
Bustami, Folklor Kangean 275
yang luas. Wilayah laut dianggap sebagai tempat berusaha yang bebas,
seperti halnya daerah hutan bagi masyarakat darat yang mengembara di
hutan untuk mengumpulkan makanan. Masing-masing orang atau kelompok
yang berusaha merasa bebas untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Perkembangan peradaban yang lebih tinggi melihat tindakan pengambilan
secara bebas di laut dinyatakan sebagai perompakan, bajak laut. Konstruksi
yang lain adalah evolusi ekonomi, yaitu tahapan awal dari perdagangan
(Lapian 1987). Perdagangan terjadi karena ada kebutuhan barang
yang tidak dipunyai sehingga harus diperoleh dari pihak yang mempunyainya.
Pemenuhan kebutuhan itu dilakukan dengan tukar menukar dan
pada masyarakat yang lebih maju diperoleh dengan jalan jual beli. Ketika
pertukaran berlangsung secara tidak seimbang maka terjadilah perampasan-
yang di laut dilakukan oleh bajak laut dan perang. Perang dilakukan
dengan bajak laut, terlebih ketika kekuatan angkatan laut dianggap tidak
memadai untuk menghadapi musuh. Contoh dalam kasus ini adalah Perang
Kemerdekaan Belanda melawan Spanyol selama 80 tahun lamanya,
Belanda bekerja sama dengan kelompok yang dikenal sebagai Watergeuzen
(Bahasa Inggris sea-beggars, Perancis mengenal la guerre de
course (perang korsario) yang telah membantu pemerintah Perancis dalam
pe-rang-perangnya pada abad XVII dan XVIII yang menjadikan pelabuhan
St. Malo sebagai pangkalan kapal korsario. Perang kemerdekaan
Amerika Latin pada abad XIX menggunakan corsarios insurgentes
(korasario pemberontak). Mexico, Kuba, dan Venezuela merupakan operasi
bajak laut sekaligus basis pemberontak dan pejuang kemerdekaan
melawan kekuatan koloial Spanyol (Lapian 1987: 222).
Konstruksi yang lain adalah jiwa petualang masyarakat dalam konteks
mencari pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berpetualang merupakan
etos masyarakat (bahasa Yunani peirates yang berasal dari bahasa Latin
adalah pinjaman dari peirates dalam bahasa Yunani Kuno yang berarti
berusaha, berpetualang (Lapian 1987: 225). Dalam konteks ini ada institusi
balas dendam, seperti dalam sejarah Yunani Kuno-masa Demosthenes
(abad IV SM) sehingga sulit dibedakan pihak mana yang mulai membajak
dan pihak mana yang mengadakan serangan balasan.
Bajak laut, menurut Raffless berkaitan dengan kebiasaan orang Melayu
the prevalence of piracy of the Malayan coast is an evil of ancient
date, and intimately connected with the Malayan habits. The old Malayan
276 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
romances, and the fragment of their traditional history constantly refer
with pride to political cruisez an honourable occupation, worthy of being
folllowed by young princes and nobels (Raffless 1817:I:232). Di
samping itu bajak laut berhubungan dengan agama dengan latar belakang
perang salib dan bulan sabit (la Croix et la Croissant) serta Watergeuzen
antara Belanda yang Protestan dan Spanyol yang Katolik. Rafless mengaitkannya
pertarungan antara Nasrani dengan Islam the state of the eastern
populatin and the intolerant spirit of the religion of Islam have eminently
tended to increase the practice Bahkan, the suppression of piracy
has long been a subject to which attention of the Dutch has been vigorously
directed,.. theprepondirance of the English navy on the shores of all
the eastern isles (Raffless 1817: 232-252). Serangan bajak laut Viking
pada abad VIII dari Skandinavia ke arah selatan, ke Pantai Eropa barat
dengan sasaran biara-biara yang tersebar di pantai Inggris, Skotlandia, dan
Irlandia. Motif agama bisa menjelaskan fenomena itu berhubung Viking
masih pagan sedangkan yang diserang adalah bangunan Katolik. Padahal
serangan itu bermotif ekonomi karena biara sebagai pusat perhimpunan
harta kekayaan.
Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang
ramai tetapi kurang mendapat pengawasan penguasa setempat sehingga
terjadi raiding bersama-sama dengan trading (Held 1957). Bajak laut
ditentukan terjadinya kemerosotan berbagai aspek kehidupan yang disebabkan
oleh perubahan konstelasi politik, perdagangan, ekonomi dengan
hadirnya orang Eropa di Asia Tengara sehingga untuk melangsungkan
hidupnya menjadi bajak laut Eropa ada di darat dan bajak laut menjadi
penguasa di lautan (Majul 1973). Rubin menegaskan bahwa istilah bajak
laut merupakan konstruksi barat yang diberikan kepada sekelompok orang
yang mengancam kekuasaan mereka atau melawan penguasa yang legal
(Rubin 1970). Penguasaan laut merupakan ajang pertempuran wacana dan
perang-perang di atas laut. Kemerosotan kekuasaan tradisional dipakai
oleh Majul untuk menjelaskan serangan bajak laut yang dilancarkan oleh
raja dan para datuk di Filipina Selatan (Majul 1973). Veth menyatakan
bahwa serangan itu berhubungan dengan faktor agama Islam dalam perlawanannya
terhadap kekuasaan barat (Lapian 1997: 24).
Hal yang berbeda dinyatakan oleh Warren bahwa bajak laut itu berhubungan
dengan pesatnya perdagangan di Asia Tenggara dengan maBustami,
Folklor Kangean 277
suknya Inggris menggantikan monopoli VOC sehingga membutuhkan
banyak tenaga kerja. Bajak laut berusaha untuk mencari tenaga kerja untuk
dijadikan budak (Reid 2004). Lombard mengaitkan dengan adanya
konflik antara dua sistem Barat dan Asia. Bajak laut meningkat sesudah
tahun 1815 dan berlangsung sampai akhir abad ke-19 (yang berkurang kekuatannya
sesudah tahun 1860. Para perdagangan muslim di Selat Malaka
(Reteh, Kepulauan Lingga), di Kalimantan (Sambas, Kota Waringin),di
Kepulauan Sulu dan Mindanao telah memanfaatkan resesi Eropa pada
awal abad ke-19 dan banyak berkembang; oleh karena ambisi-ambisi baru
dari kekuatan-kekuatan kolonial, mereka terpaksa melakukan perang di
atas laut dan datang merampoki pantai-pantai Jawa sampai menyerang
konvoi-konvoi yang melewati jalan raya Daendels yang berada di dekat
pantai (Lombard 1996: 78).
Lapian melihat bajak laut dari sudut kekerasan yang melekat pada
setiap tindakan perompakan. Kekerasan itu dimonopoli oleh negara. Jika
dijalankan oleh orang lain, maka tindakan itu dilihat sebagai tindakan
kriminal. Konstelasi politik dunia maritim di Asia Tenggara bervariasi
maka harus dijabarkan menjadi tiga tipologi di setiap kawasan, yaitu orang
Laut, bajak laut, dan raja laut (Lapian 1987). Bajak laut adalah sebutan
yang dipakai oleh sebuah pemerintahan yang telah mapan kepada
pihak yang melanggar kedaulatan mereka. Padahal pada masa itu terjadi
persaingan hegemoni berbagai pihak termasuk penguasa kolonial memperebutkan
atau penguasaan kedaulatan atas suatu kawasan (Lapian
1997:24-35). Data dari Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (l851)
menginformasikan kegagalan Belanda melindungi penduduk Bawean dari
serangan bajak laut (Hoëvell (ed), l851: 1:158-165). Harian Locomotief,
17 Oktober 1904 menyatakan adanya pergeseran kegiatan bajak laut dari
laut Jawa ke Selat Madura dan pelakunya sebagian besar orang Madura
(Meyier 1905:1:90). Aktifitas bajak laut di kawasan Pulau Kangean dan
Selat Madura itu berkaitan dengan perjuangan Trunojoyo. Trunojoyo
bekerja sama dengan bajak laut Makassar untuk melawan hegemoni Mataram
yang didukung oleh Belanda (Graaf 1940: 56-86).
LANUN, KANGEAN, DAN INTEGRASI KAWASAN
Informasi tentang bajak laut Asia, yang tertua berasal dari Fa-Hsien
yang dalam perjalanannya pulang dari India ke Cina (413-414) mengata278
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
kan bahwa Laut di Asia Tenggara penuh dengan bajak laut, barang siapa
bertemu dengan mereka akan menemui ajalnya (Lapian, 1987). Analisis
bajak laut di kawasan Indonesia dan Asia Tenggara khususnya di Laut Sulawesi
telah dikaji oleh Lapian (l987: 225-318).
Dalam konteks bajak laut (lanun) Mangindano dijelaskan bahwa faktor
keterlibatan mereka dalam kegiatan bajak laut adalah Perang Moro.
Orang Mangindano sejak abad XVI berkonfrontasi dengan Spanyol dalam
kerangka Perang Moro (Lapian 1987: 258-259). Bajak laut Mangindano
melakukan aksinya dengan memanfaatkan angin timur laut menuju
wilayah bagian barat sehingga di Serawak dikenal the pirate wind atau
angin lanun (Lapian 1987: 270). Keterlibatan Mangindano dalam kegiatan
bajak laut berhubungan dengan tindakan Belanda untuk menguasai perdagangan
timah yang dikuasai orang Bugis, seperti yang dinyatakan dalam
Tuhfah al-Nafis pada bulan Mei 1787. Sejak itu di perairan Riau dan pantai
timur Sumatera dikuasai lanun yang berpusat di Reteh (antara Muara
Sungai Jambi dan Indragiri). Dari pangkalan ini setiap tahun mereka
merompak di perairan sekitarnya (Wall 1879: 30-34).
Pada abad XIX, dijelaskan bahwa orang darat yang bersikap defensif
berbalik menjadi pelaut yang agresif seperti orang Tobelo. Keterlibatan
mereka dalam jaringan bajak laut merupakan balas dendam terhadap serangan
bajak laut Magindano dan Balangingi. Bajak laut Tobelo terlibat
dalam serangan ke Bawean dekat Kepulauan Kangean melalui Manggarai,
dalam bulan Oktober 1850. Pada waktu itu 15 perahu bajak laut berukuran
besar mendarat di pantai barat laut pulau itu, ketika sebagian besar
dari penduduk persis sedang berlayar ke luar pulau untuk berdagang. Pada
kesempatan itu bajak laut berhasil menangkap sejumlah besar dari penduduk
beberapa kampung Bawean yang kemudian dijadikan budak (Koloniaal
Verslag 1850:18; Wall 1879: 27-28). Javasche courant (l844) menginformasikan
bajak laut Mangindanao menyerang Pulau Bawean (Roon
1917). Pendapat Anthony Reid yang menyatakan kehadiran bajak laut
dengan perdagangan budak seiring dengan meningkatnya permintaan
tenaga kerja lebih bisa diterima.
Bajak laut yang lain berangkat dari Kepulauan Sulu dan Mindanao
Selatan melalui Selat Makassar dengan menggunakan angin timur laut sehingga
Kerajaan Kalimantan Timur, seperti Berau, Bulungan bekerja atau
terpaksa bekerja sama (Lapian 1987:272). Pangkalan bajak laut yang
Bustami, Folklor Kangean 279
penting adalah Toli-Toli, Sulawesi Utara. Di sebelah menyebar selat Makasar
bajak laut mempunyai pangkalan sehingga lalu lintas ini tidak aman
bagi pelayaran niaga pada awaktu itu. Menurut orang setempat, mereka
semuanya disebut Mangindano. Di bagian selatan dari Selat Makasar
mereka mendirikan pangkalan di Pulau Laut (wilayah Kalimantan Selatan)
dekat Pulau Kangean. Menurut Pangeran Said Al Habsyi (1830) orang
Lanun di Pulau Laut bekerja sama dengan pemimpin Bangkalan (Kalimantan
Selatan, sic Madura) yang disebut Haji Jawa, yang berasal dari
Kalimantan (sic Madura), dan orang Bajau serta orang Tobelo dari Halmahera.
Pulau Laut digunakan untuk menjelajah perairan Laut Flores dan
Laut Jawa.
Pada tahun 1828 penduduk Pulau Kangean, sekitar 300 orang, diangkut
ke Pulau Laut untuk dijual sebagai budak. Said Hassan al Habsyi
pernah bertemu dengan sebuah eskader Lanun di Selat Bali yang berasal
dari pangkalan Pulau Laut itu. Di kawasan Laut Flores pun ada pangkalan
di beberapa pulau kecil, seperti tanah Jampea, Kalao, Bonerate, Puau Riung
di lepas pantai Flores Barat (Manggarai) sebagai pusat perompak
Mangindao, Balangingi, dan Tobelo (Lapian 1987: 274). Pada tahun
1850-1876 diinformasikan tentang serangan bajak laut dari Sulu dan
Manggarai ke Pulau Kangean dan Bawean (Waal 1879: 28-30).
Rekonstruksi kesejarahan menunjukkan posisi Pulau Kangean yang
berada di tengah persimpangan beberapa pangkalan bajak laut (lanun)
maka bisa diterima kalau orang Kangean mempunyai folklor tentang lanun.
Orang Kangean menyebut lanun setiap kali ditanyakan tentang terjadinya
pemukiman penduduk di perbukitan (dera ). Pola perkampungan
di dera dikelilingi pagar hidup, semak belukar dengan satu pintu besar
yang terbuat dari kayu untuk melindungi diri dari serangan lanun. Keberadaan
satu pintu masuk mempunyai fungsi mengawasi aktifitas warga
dan orang luar. Ketika ada serangan lanun, pintu itu ditutup dan warga
berusaha mempertahankan diri. Pemukiman penduduk di daerah perbukitan
(dera ) tersebar di Kangajen Dera , Torjek Dera , Temor Jengjeng
Dera , Cangkramaan, Deandung (Bustami 2001).
Kemudian, pemukiman penduduk terdapat di wilayah pesisir dihuni
oleh lanun. Wilayah pesisir itu bagi lanun berfungsi sebagai pengisi bahan
bakar perahu, bahan makanan (feeder points), dan penyimpanan hasil bajakan
lanun. Pemukiman di wilayah pesisir ini saat itu dihuni oleh ketu280
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
runan lanun dari hasil kawin mawin dengan perempuan di kawasan itu
dan dari berbagai wilayah yang telah ditaklukkan. Menurut informan, R.
Imran, 70 tahun, desa Angon-Angon menyatakan bahwa dialek orang pesisir
di Kangean itu kasar karena keturunan lanun bahkan di wilayah itu
terdapat nama Pulau Pagerungan yang berasal dari Pegarongan. Banyak
orang Kangean yang ditangkap oleh lanun dan dijadikan budak termasuk
di antaranya Untung Surapati. Pernyataan itu bila dibandingkan dengan
sumber Belanda tidak seluruhnya benar karena dialek yang kasar dalam
konteks wilayah tersebut tidak selalu berhubungan dengan keberadaan lanun
semata melainkan Kangean dijadikan sebagai wilayah pembuangan
dan penjara bagi para penjahat dan lawan-lawan politik pada masa penjajahan
Belanda (Farjon 1980). Konstruksi ini sampai saat ini terasa, yaitu
stigma sosial terhadap Pulau Kangean. Setiap pejabat yang diangkat di
Kangean dianggap dibuang. Orang Kangean dikonstruksi lebih rendah dan
dinyatakan sebagai orang pulau (oreng polo) dan mereka menyebut orang
dari daratan (dereden) sebagai orang kota (oreng kotta) dan orang negara
(oreng nagera). Keberadaan Untung Surapati sebagai mantan budak merupakan
fakta sejarah tetapi.dari mana dia berasal menimbulkan silang
pendapat.
STRATEGI MENAKLUKKAN LANUN
Masyarakat Kangean mempunyai strategi untuk mengalahkan lanun
dengan cara membuat kue lanun (jejen lanun) yang berwarna hitam yang
terbuat dari bahan-bahan ketan (palotan), parutan kelapa (parodenna nyiong)
dan gula jawa (gule jebe). Proses pembuatannya dengan cara ketan
dicampur dengan abu sisa pembakaran batang padi, disaring digunakan
sebagai zat pewarna ketan sehingga berwarna hitam. Kemudian, dibungkus
daun pisang muda, dan dikukus sampai keras. Cara menyajikannya
dengan cara, gulungan ketan yang berwarna hitam yang telah masak
diiris-iris, di atas irisan-irisan itu ditabur parutan kelapa, dan diberi cairan
gula jawa. Penyelesaian dengan menciptakan makanan ini mempunyai
makna simbolik, yaitu keberanian untuk melawan kejahatan lanun.
Makanan (jejen lanun) pada dasarnya menyatakan secara simbolis, yaitu
solidaritas kelompok (Foster dan Anderson 1978: 268-271). Orang
Kangean menyatakan solidaritas kelompok untuk melawan kejahatan lanun
secara simbolis melalui jejen lanun.
Bustami, Folklor Kangean 281
Saat ini, simbol lanun mengalami pergeseran, yaitu dari lanun sebagai
bajak laut menjadi orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan
yang tergolong kriminal. Tindakan kekerasan terjadi karena adanya interaksi
sosial antarpenduduk yang menimbulkan pelecehan terhadap harga
diri. Tindakan kekerasan ini menimbulkan konflik.
Kuantitas dan kualitas konflik cenderung menguat di kampung pesisir,
yang dihubungkan dengan asal usul penduduk yang merupakan keturunan
lanun. Di sisi lain, letak kampung pesisir yang berada di jalur transportasi
menjadikan para pengguna jalan ketika masuk wilayah ini memilih
dahulukan selamat dengan cara hati-hati, mengendarai kendaraan
pelan-pelan, tidak membunyikan klakson keras-keras, dan memberikan
kesempatan pada penyeberang jalan yang sering menyeberang mendadak.
Kesalahan dengan menabrak penyeberang apapun alasannya yang disalahkan
adalah pengendara. Perlakuan terhadap pengendara yang melanggar
tidak sebanding dengan kuantitas kesalahan bahkan terjadi konflik
antardesa yang menimbulkan korban jiwa. Konflik itu bermula pada kepentingan
perseorangan yang berkembang menjadi konflik antarkerabat
dan ujung-ujungnya adalah konflik antar desa, seperti yang terjadi antara
desa De andung dan Kangajen. Meluasnya medan konflik berhubungan
dengan solidaritas mekanis dan adanya institusi malo (pelecehan terhadap
harga diri). Pembelaan dan usaha mempertahankan diri sering yang dijadikan
pilihan adalah carok. Carok memunculkan repro-duksi kekerasan,
balas dendam yang berkepanjangan.Penyelesaian konflik yang lain dilakukan
melalui tokoh-tokoh lokal, aparat negara, instiusi keislaman, dan
jaringan kekerabatan.
Saat ini, orang Kangean telah mengalami perubahan kebudayaan. Perubahan
kebudayaan berhubungan dengan migrasi internasional, kebudayaan
konsumen melalui mekanisme, integrasi dan ekspansi pasar luar
negeri (embeng-barang bekas impor) yang dimantapkan dengan media
televisi dengan antena parabola, institusi pendidikan dan ritual pembangunan
lainnya, perkawinan lintas budaya, orang Kangean muncul
menjadi pengusaha yang menguasai aset-aset di kota Sumenep sehingga
menuju pada pemantapan ideologi multikulturalisme. Ideologi multikulturalisme
di Kangean bukan sekedar berbicara kesetaraan jender melainkan
pentingnya penghargaan terhadap manusia sejati tanpa batas-batas
jenis kelamin, agama, jenis pekerjaan, aliran keagamaan, dan status sosial.
282 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
Kontekstualisasi ideologi multikulturalisme di Kangean sedang berproses
menuju kehidupan yang diidealisasikan.
KESIMPULAN
Cerita lanun yang tersebar di kalangan orang Kangean merpresentasikan
respon kehidupan mereka. Cerita itu diwariskan secara turun temurun
melalui lisan dan sebagian lisan. Cerita itu termasuk jenis folklor lisan
yang berbeda dengan mite, legenda, dan dongeng karena cerita itu tidak
sakral dan realistis. Cerita lanun di kawasan Pulau Kangean sesuai dengan
informasi dari sumber sejarah kolonial. Cerita Cerita lanun menjelaskan
tentang sejarah pemukiman masyarakat dan relasi kuasa dengan kekuatan
politik, ekonomi, dan kebudayaan orang Kangean dengan masyarakat dari
berbagai kawasan dalam jaringan dunia serta terjadinya integrasi di kawasan
tersebut. Orang Kangean telah berinteraksi dengan kekuatan sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat di kawasan lainnya dalam
kawasan yang meluas dan mengglobal dalam jaringan sistem lanun dunia.
Dengan sendirinya pemberian label lokal pada orang Kangean harus dikaji
ulang.masyarakat Orang Kangean mempunyai strategi untuk mengalahkan
lanun dengan cara membuat kue lanun (jejen lanun). Makanan ini mempunyai
dua makna, yaitu realitas dan simbolik. Strategi adaptasi simbolik
ini berpotensi menciptakan integrasi sosial. Cerita lanun yang tersebar
pada orang Kangean setelah melalui kritik sumber sejarah, intern dan ekstern
ternyata bisa dijadikan sebagai salah satu sumber sejarah kawasan.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Taufiq (ed), 1984. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Arsip Nasional Republik Indonesia. 1978. Memori Serah Jabatan 1921-1930
(Jawa Timur dan Tanah Kerajaan). Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No.
10. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Azra, Azyumardi, 1999. Historiografi Kontemporer Indonesia . Dalam Chambert-
Loir Henri dan Hasan Muarif Ambari (eds), Panggung Sejarah Persembahan
kepada Prof. Dr. Denys Lombard Jakarta: Yayasan Obor IndoneBustami,
Folklor Kangean 283
sia, hal. 63-78.
Azra, Azyumardi, 1996. Jaringan Ulama Nusantara dan Timur Tengah.
Bandung: Mizan.
Badan Pusat Statistik Sumenep, 1999. Sumenep dalam Angka l999. Sumenep:
BPS.
Botting, Douglas dan Tim Editor Time Life Books. 1978. The Seafarers The Pirates.
Virginia: Time-Life Books.
Braudel, Fernand, 1976. The Mediterranean and the Mediterranean World in the
Age of Philip II. Vol.I dan II. New York/ Hagertown: San FRansisco
Burke, Peter. 2001. Sejarah dan Teori Sosial. terj. Jakarta: YOI.
Bustami, Abd. Latif, 1990. Masuk dan Berkembangnya Islam di Pulau Madura
Majalah IKA IKIP MALANG. Edisi ke-5. hal. 1-23.
Bustami, Abd. Latif, 1990. Santri sebagai Penguasa: Dinasti Bendara Saud di
Kasultanan Sumenep Pada Abad XVIII Jurnal Pesantren P3M. Jakarta.
No.1.Vol.VII/1990. hal. 66-77.
Bustami, Abd. Latif, 1997. Sejarah, Etos, dan Perilaku Sosial Orang Madura
dalam Aswab Mahasin,dkk (eds). Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka
Budaya Jawa. Jilid 2. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal. hal. 323-356
Bustami, Abd. Latif, 2001. Sadeging: Pandangan Orang Kangean terhdap Penyembuhan
Penyakit ISPA , Tesis Tidak Dipublikasikan, Program Studi Antropologi.
Depok: FISIP Universitas Indonesia.
Bustami, Abd. Latif, 2002. Folklor Kangean: Cerita Lanun (Bajak Laut) dan Integrasi
Sosial . Makalah disajikan pada Simposium Internasional Jurnal
Antropologi Indonesia III, di Universitas Udayana, Denpasar, tanggal 16-19
Juli 2002.
Bustami, Abd. Latif, 2003. Islam Kangean . Jurnal Antropologi Indonesia No.72
(XXVII) Sept-Des 2003, hal.72-82.
Cartesao, Armando. 1944. The Sumo Oriental of Tome Pires. An Account of the
East. 2 Jilid. XXXIX dan XL terj. Armando Cartesao. London: Hakluyt
Society.
Chudury. K.N. 1988. Trade and Civilization in the Indian Ocean. An Economic
History from the Rise of Islam to 1750. Cambridge: Cambridge University
Press
Danandjaja, J, 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, Dan lain-lain,
Cetakan keenam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Farjon, I. 1980 Bibliographical Series Madura and Surrounding Islands. Annotated
Bibliography.KITLV 9. The Hague Martinus Nijhoff.
Foster. George M dan Barbara Gallatin Anderson. 1978. Medical Anthropology.
New York: Chichester, Brisbane & Toronto: Joh Wiley & Son.
Graaf. H.J.de. 1940. De Opkomst van Raden Troenadjaja . Djawa 20 (l940)1:
284 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
56-86
Graaf, H.J. de dan Pigeaud. Th. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa.terj. Jakarta:
Grafiti Press dan KITLV
Hageman, Czn, J. 1858 Bijdragen tot de kennis van de residentie Madoera ,
Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie 20 (l858) Vol.1: 321-352 dan Vol. 2: 1-
26.
Held,G.J. 1957. The Papuas of Waropen. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Hoëvell, W.R.van (ed), 1851. Bawean en de zeeroovers Tijdschrift voor Nederlandsch-
Indie 13 (l851) Vol. 1:158-165. Kolonial Verslag 1850:18.
Lapian, A.B., 1987. Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
Abad XIX , Disertasi Tidak Dipublikasikan, Yogyakarta: UGM
Lapian, A.B., 1997 Dunia Maritim Asia Tenggara. dalam Abdullah dan Edy
Sedyawati (eds). Sejarah Indonesia Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan
Asing. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya lembaga
Penelitian Universitas Indonesia, hal.17-40.
Lapian, A.B.,1999. Nusantara: Silang Bahari . dalam Chambert-Loir Henri dan
Hasan Muarif Ambari (eds), Panggung Sejarah Persembahan kepada Prof.
Dr. Denys Lombard Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 79-92
Lapian, A.B., 1992. Sejarah Nusantara Sejarah Bahari . Pidato Pengukuhan
Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 4 Maret
Lombard Denys L, 1993. Rêver l Asie: Ezotisme et littérature coloniale aux Indes,
en Indochine et en Insulinde. Paris: Ecole des Hautes Etudes en Sciences
Sociales.
Lombard Denys L. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya. Jilid 2. Terj. Jakarta: PT.
Gramedia
Majul, C. Adib. 1973. Muslim in the Philipines. Manila: St. Mary s Publishing.
Meyier, J.E.de (ed). 1905. Zeeroof in Straat Madoera . De Indische Gids 27.
Vol.1: 90
Pelras, Christian. 1996. The Bugis. Oxford: Blackwell.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia, 6 Jilid,
Edisi IV. Jakarta: PN. Balai Pustaka
Raffelss, T.S. 1817. History of Java, Jilid I, Kual Lumpur: Oxford University
Press, reprint 1976.
Reid, Anthony, 1992. Asia Tenggara Kurun Niaga 1450-1680. Volume 1:Tanah
di bawah Angin. Terj. Mochtar Pabotinggi, Jakarta: YOI
Reid, Anthony, 2000. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Volume 1:
Ekspansi dan Krisis. Terj. Jakarta: YOI
Reid, Anthony, 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Terj. Jakarta: LP3ES
Rivai, Faizah Soenarto. 1993. Seabad dengan Emilio Salgari Seri Roman Perompak
Melayu dalam Chambert-Loir Henri dan Hasan Muarif Ambari
Bustami, Folklor Kangean 285
(eds), Panggung Sejarah Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 383-412.
Roon, J.Van. 1917. Enkele aantekeningen omtrent het eiland Bawean Jaarverslag
Top Diens over 1916.Vol.12. Batavia . hal. 264-273.
Rubin,Alfred. 1974. Piracy, paramountcy, and protectorates. Kuala Lumpur:
Penerbit Universitas Malaya.
Sahlins. Marshal. 1994. Goodbye to Tistes Tropique: Ethnography in the Context
of Modern World History dalam Borofsky (ed). Assesing Cultural Anthropology.
New York: McGraw-Hill, Inc. hal.377-395.
Shoper, David E. 1977. The Sea nomads A Study of maritime boat people of
Southeast Asia. Singapore: National Museum.
Tarling, Nicholas. 1963. Piracy and Politics in the Malay World A Study of British
imperialism in nineteenth century South East Asia. Melbourne: F.M.
Chesire.
Tjiptoatmodjo, Soetjipto, F.A. 1983. Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura
(Abad XVII sampai Medio Abad XIX) . Disertasi Tidak Dipublikasikan.
Yogyakarta: Unversitas Gadjah Mada.
Waal, E.de. 1879. Bijdrage tot de kroniek en statistieck van den zeeroof in Nederlansch
Indie, met Staatkundige toelichtingen Onze Indische financien
Nieuwe reeks aanteekeningen. Vol.3. s-Gravenhage, Nijhoff, hal. 17108.
Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World Sustem: Capitalist Agriculture
and the Origins of the European World Economy in the Sixteenth Century.
New York: Academic Press.
Warren. James F. 1985. The Zulu Zone, 1768-1898: The Dynamics of External
Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asia
Maritime State. Quezon City: New Day Publishers
Wiyata, A. Latief. 2002. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang
Madura. Yogyakarta: LkiS.
FOLKLOR KANGEAN:
SUATU KAJIAN CERITA BAJAK LAUT (LANUN)
SEBAGAI SUMBER SEJARAH KAWASAN
Abd. Latif Bustami
Abstract: This article discusses the pirate folklore as regional historical
sources in the Kangean island. The stories of pirates may explain
the history of people settlement and power relation with political,
economic, and cultural aspects between the Kangean island and
the other regions in entering the world system. The result of this interaction
shows an integration process in this region. The Kangean
people have cultural strategies to reduce pirates by producing handmade
cake (jejen lanun). The cake has two meanings: realistic and
symbolic meanings. This symbolic adaptation strategy has potentially
made social integration possible. The use of a historical-sources-based
critique of the pirate stories has yielded s research result showing that
the stories may be taken as historical sources for regional historiography.
Key words: Kangean, pirate folklore, regional historical sources,
regional historiography.
Pulau Kangean secara administratif termasuk Kabupaten Sumenep,
Madura. Kabupaten Sumenep terbagi menjadi dua wilayah, yaitu daratan
(dereden) dan kepulauan (polo). Pembagian wilayah ini berhubungan
konstruksi orang dari kedua wilayah itu, yaitu orang daratan (oreng dereden)
dan orang pulau (oreng polo). Konstruksi menentukan hubungan
Abd. Latif Bustami adalah Dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Negeri
Malang. Dosen Luar Biasa dalam Matakuliah Kebudayaan dan Institusi Lokal; Antropologi
Agama; Hubungan Antarsukubangsa; Perubahan Sosial dan Pembangunan Program
Pasca-sarjana, dan Folklor Indonesia pada Program D3 Pariwisata FISIP UI.
268 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
antarkedua wilayah tersebut. Orang daratan memandang lebih tinggi dari
orang kepulauan, sedangkan orang kepulauan menyebut orang daratan
dengan orang negara yang dijadikan acuan dalam bertingkah laku (oreng
nagera).
Cara pandang orang itu berhubungan dengan interaksi antara pusat
kekuasaan dengan bagian wilayah kekuasaan. Pusat kekuasaan sejak
Sumenep di bawah Singasari sampai saat ini berada di Sumenep daratan
(Bustami 1990: 66-77; 1997:323-330). Pada masa kasultanan Sumenep
dan kolonial, Pulau Kangean dijadikan sebagai tempat pembuangan lawan-
lawan politik penguasa lokal dan kolonial serta narapidana (Farjon
l980: 21-22; Arsip Nasional 1978:CLXX, 247). Pulau Kangean merupakan
Australianya Madura .
Penduduk Pulau Kangean berjumlah 78.468 jiwa, dengan kepadatan
penduduk sebesar 173,11 orang per km, angka ketergantungan 93,66 %,
dan jumlah rumah tangga sejumlah 22.300 buah. Orang Kangean seluruhnya
beragama Islam (Sumenep dalam Angka 1999: 15-17; 73). Ajaran
Islam diinterpretasi dan diaktualisasikan dalam kerangka kebudayaan
Kangean sehingga terjadi variasi. Secara kultural, Pulau Kangean memiliki
kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan Madura
(Bustami 2001:7-9). Perbedaan itu nampak pada bahasa, asal usul, dan
identitas sosial. Bahasa Kangean mempunyai tingkatan bahasa ako-kao,
nira-nae, dan kaule-panjennengan. Konstruksi ako-kao, eson-sede, esonkakeh
merupakan komunikasi yang dipergunakan oleh seseorang yang
sederajat dan teman akrab. Konstruksi nira-nae, die-dika digunakan oleh
mertua kepada menantu dengan tujuan penghormatan sedangkan kaulepanjennengngan
ditujukan kepada seseorang yang lebih tua, tidak sederajat
sebagai penghormatan. Konstruksi yang terkahir ini disebut besa alos
(bahasa tenggi) dan didominasi oleh bahasa Madura (Bustami 2003: 73-
74).
Asal-usul orang Kangean merupakan campuran orang-orang yang
berasal dari Madura, Sapudi (Podey) -Raas, Eropa, Cina, Arab, Banjar,
Melayu, Bawean, Jawa, Bali, Bugis-Makassar, Mandar, Mangindanao,
dan Sulu. Kedatangan orang Madura, Sapudi-Raas di Pulau Kangean berhubungan
dengan faktor pekerjaan, perdagangan, dan perkawinan. Orang
Eropa berhubungan dengan pemantapan kolonialisme dan penyebaran
agama Kristen Protestan. Di Pulau Kangean terdapat kampong Pandita
Bustami, Folklor Kangean 269
lengkap dengan bangunan berarsitektur Eropa sebagai bukti adanya kegiatan
misi Kristen. Kedatangan orang Cina berhubungan dengan faktor
pelarian politik dari Batavia yang terjadi pada akhir abad ke-19 (Bustami
2001:8; 2003:74). Keturunan orang Cina yang berjenis kelamin laki-laki
disebut encek dan yang perempuan (ennya ), sedangkan yang keturunan
Arab yang laki-laki disebut iyye dan perempuan (saripah). Orang Jawa
didatangkan oleh Belanda di Kangean pada abad ke-19 untuk menanam
kayu jati sehingga wilayah pemukiman mereka disebut kampong Jebe,
yang tersebar di Kampong Ramo Salengka , Desa Sabesomor, dan Desa
Torjek. Orang Bali tersebar di pantai selatan Kangean karena perdagangan
dan perluasan kekuasaan politik. Orang Bugis-Makassar, Mandar, Mangindanao,
dan Sulu tersebar di pantai utara Pulau Kangean. Konstruksi
bangunan rumah, kosa kata, cara menyapa dan cara menyebut dalam
kekerabatan, dan upacara-upacara menguatkan asal-usul orang Kangean
yang majemuk.
Orang-orang Pulau Kangean memiliki ceritera tentang terjadinya
pemukiman di atas bukit (dera ) dan pesisir (paseser) dihubungkan
dengan lanun (bajak laut). Pemukiman di atas bukit muncul untuk
menghindari serangan bajak laut, sedangkan di pesisir merupakan pemukiman
para bajak laut. Pada perkembangan selanjutnya mulai terbentuk
pemukiman di antara kedua wilayah itu, yaitu lembah (lembe). Saat ini di
ketiga wilayah pemukiman itu terjadi akulturasi kebudayaan dan belum
membentuk masyarakat multikultural.
FOLKLOR LANUN SEBAGAI SUMBER SEJARAH KAWASAN
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar
dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat
(memonic device) (Danandjaja. 2002:2). Brunvand mengklasifikasikan
floklor menjadi tiga bentuk, yaitu lisan, setengah lisan atau sebagian lisan,
dan bukan lisan (Danandjaja 2002: 21-207). Mengacu pada pembagian
folklor itu, maka folkor Kangean tentang cerita lanun termasuk
folklor lisan dan folklor sebagian lisan. Folklor lisan karena pewarisannya
dilakukan secara lisan, sedangkan folklor sebagian lisan karena proses
pewarisan secara lisan itu dan sebagian diwujudkan dalam bentuk ma270
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
kanan (jejen lanun). Jejen lanun itu merepresentasikan strategi simbolis
orang Kangean untuk melawan lanun (Bustami 2002).
Salah satu bentuk foklor lisan adalah cerita prosa rakyat. Bascom
memfokuskan bentuk cerita prosa itu pada mite, legenda, dan dongeng
(Danandjaja 2002:50). Cerita lanun orang Kangean tidak termasuk ketiga
bagian itu karena cerita itu tidak berhubungan dengan sesuatu yang dianggap
suci, cerita itu terjadi, dan bukan dongeng. Menurut saya, fenomena
bajak laut (lanun) merupakan cerita orang Kangean sebagai respon terhadap
kehidupan sosial budaya mereka. Informasi tentang aktifitas lanun di
Pulau Kangean bukan hanya dinyatakan dalam cerita lisan atau sebagian
lisan melainkan juga dibuktikan dari catatan pelaut dan musafir asing
(Cortesao 1944; Lapian 1987; 1999: 89-92; Lombard 1996, Jilid 2: 77 )
serta arsip-arsip kolonial Belanda (Koloniaal Verslag 1850: 18; Hoëvell
1851: 158-165; Hageman 1858: 321-352; Waal 1879:17-108; Meyier
1905:1-90; Roon 1917:264-273; Graaf 1940: 56-58).Farjon keliru mencantumkan
nomor halaman karya Hageman Bijdragen tot de kennies van
de residentie Madoera , TNI 20 (l858) Volume I, halaman 320-353 (Farjon
1980: 5) seharusnya halaman yang dimaksud adalah 321-352 (Hageman
1858: Vol.I:321-352). Cerita lanun itu berada dalam wilayah profan.
Dengan sendirinya pembagian cerita prosa rakyat pada mite, legenda,
dan dongeng perlu dikoreksi dan ditambah dengan cerita rakyat (Bustami
2002).
Cerita lanun itu menjelaskan tentang sejarah pemukiman penduduk,
dan relasi kekuasaan dengan kekuatan politik, ekonomi, dan kebudayaan
orang Kangean dengan masyarakat dari berbagai kawasan dan tergabung
dalam sistem dunia. Di sisi lain berbagai kekuatan itu menjelaskan terjadinya
proses integrasi di kawasan Kangean. Dengan sendirinya cerita lanun
itu bisa dijadikan sebagai salah satu sumber sejarah kawasan. Sejarah kawasan
dipakai untuk menggantikan istilah sejarah lokal yang menurut
saya a historis. Sejarah lokal yang disusun oleh Abdullah, dkk (l984),
pada awalnya diposisikan sebagai antagonis dan resistensi terhadap sejarah
nasional yang disusun oleh Poesponegoro, dkk (1977; 1984). Sejarah
nasional pada dasarnya sejarah kawasan yang diinterpretasi dan dikonstruksi
sebagai nasional oleh para penyusunnya. Boleh jadi, istilah lokal
digunakan untuk menyederhanakan konsep yang berbeda dengan nasional.
Secara historis, kelokalan sejatinya merujuk pada konsep nasional bahkan
Bustami, Folklor Kangean 271
global. Studi-studi antropologis membuktikan bahwa proses globalisasi
berlangsung sejak masa lalu di mana setiap masyarakat di muka bumi ini
merupakan suatu masyarakat global (Sahlins 1994: 387). Sejarah lokal
mengabaikan adanya interaksi orang yang mendiami suatu wilayah dengan
kekuatan sejarah dari luar wilayah melalui jalur perdagangan, rute pelayaran,
kondisi ekologis kemaritiman, dan kepentingan politik budaya
(Lapian 1992; 1999).
Historiografi tentang sejarah kawasan yang diberi label lokal dengan
menjadikan folklor sebagai sumber sejarah dilakukan oleh de Graaf
dan Pigeaud (l985). Sejarah kawasan bisa dinyatakan sebagai sejarah total
(Azra 1999: 65-78) sebagaimana yang telah dilakukan oleh Annales
School, Perancis, Fernand Braudel (1976), Chudury (1988), Lombard
(l996), dan Reid (1992; 1999; 2004). Wallerstein penggagas teori sistem
duniapun dipengaruhi oleh Fernand Braudel (Wallerstein 1974). Pengaruh
Braudel di Indonesia nampak pada Tjiptatmodjo, Lapian, Azra. Tjiptoatmodjo
meneliti sejarah kawasan di Selat Madura pada abad ke-17 sampai
dengan abad ke-l9 (Tjiptoatmodjo 1983). Lapian mengembangkan sejarah
maritim dan mengaplikasikannya dengan meneliti Laut Sulawesi ( Lapian
1987) dan Laut Sawu (Lapian: 1992) sebagai saluran integrasi kawasan
tersebut bahkan dia berkesimpulan bahwa nusantara merupakan silang bahari
(Lapian 1999: 79-92). Azra (l996) meneliti tentang jaringan ulama
Nusantara dan Timur Tengah.
Sejarah kawasan dapat menyajikan sejarah otonom khas Indonesia
yang tidak terjebak pada pendekatan maritim atau darat bahkan udara tergantung
karakteristik kawasan dan periodesasi yang dipilih. Lapian terpesona
dengan kondisi bahari Indonesia sehingga menggagas pentingnya sejarah
maritim dengan pendekatan unit kelautan sehingga mengabaikan potensi
darat. Lapian terlalu berpikir dikotomis laut dan darat serta menjadi
laut sebagai pusat terjadinya sinergi integrasi ribuan pulau di Indonesia
(Lapian 1992). Pertumbuhan wilayah laut dan darat menjadi satu kesatuan
sebagai interaksi berbagai aspek kehidupan secara timbal balik, kemudian
melebar dan meluas dengan berinteraksi dengan kawasan lainnya dalam
jaringan yang lebih luas menjadi jaringan sistem ekonomi dunia (Wallerstein
1974). Cerita lanun di Kangean menunjukkan adanya perubahan kehidupan
di darat terutama pemukiman di dataran tinggi (kampomg dera ),
dan pesisir (kampong paseser). Sebelum datangnya lanun mereka ber272
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
mukim di pesisir dan dengan kehadiran lanun mereka lari ke atas. Pusat
kekuasaan sampai saat ini tetap berada di atas dan sebagian berpindah ke
bawah bahkan mendirikan pusat kekuasaan di antara pusat kekuasaan
yang telah ada, yaitu lembah (kampong lembe).Pusat-pusat kekuasaan itu
hadir dengan segala atribut-atribut sebagai legitimasi kekuasaan. Di
kalangan orang tua selalu menceritakan keberadaan lanun di wilayah Pulau
Kangean. Walaupun begitu, folklor sebagai sumber sejarah kawasan
membutuhkan kritik sumber dan dikomparasikan dengan sumber sumber
sejarah lainnya (Burke 1999).
Pulau Kangean menunjukkan adanya interaksi dengan berbagai kekuatan
politik, kebudayaaan, dan ekonomi dengan Madura, Jawa, Filipina
Selatan, Eropa, Asia Barat, Asia Timur, Bugis-Makassar, Mandar, dan
Bajo atau Bajau (Bustami 2002; 2003; Lapian 1987; 1992; 1999). Penyebaran
orang Bajo orang perahu di Asia Tenggara termasuk meliputi seluruh
nusantara telah dikaji oleh Sopher (l965). Di Pulau Kangean terdapat
konsentrasi pemukiman penduduk orang Bajo yang dalam karya itu tidak
dicantumkan (Bustami 2001). Keberadaan mereka di wilayah ini berkaitan
dengan perompakan dan jalur pelayaran. Rute pelayaran menciptakan jaringan
perdagangan atau sebaliknya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
sehingga terjadi pelayaran antarkampung, antarpulau, antar wilayah
yang lebih luas, dan internasional. Jalur pelayaran antara persekutuan
kampung-kampung itu menciptakan sebuah jaringan komunikasi yang
mempersatukan wilayah perairan bersangkutan (Lapian 1999: 88-89).
Orang Bajo menurut Tome Pires (dekade ke-2 abad ke 16) yang
mengatakan bahwa mereka merompak sampai ke Pegu di sebelah barat
dan ke Maluku,Banda di sebelah timur. Mereka mengunjungi pulau-pulau
sekitar Jawa dan mengelilingi Pulau Sumatera. Barang dagangan dan hasil
rampasan dibawa ke Jumaia (di Pulau Tujuh) tempat mereka memasarkannya
(Cortesao 1944). Bisa jadi, keperkasaan perompak di kawasan
Melayu itu mengilhami penulisan karya sastra di Italia, Eropa pada abad
19, Aux origines du thème du Pirates malais (Lombard 1993), seperti
Emilio Salgari (Rivai 1999: 383-412). Karya Salgari yang bertemakan perompak
Melayu dan Bajak laut, yaitu ciclo dei Pirati della Malesia atau
ciclo Indo-Malese (Seri Perompak Melayu) dan ciclo dei Corsari (seri bajak
laut). Kemahiran orang Bajo diteruskan oleh pelaut Melayu yang kemudian
meluaskannya usahanya sampai ke sebelah timur, termasuk orang
Bustami, Folklor Kangean 273
Bugis (Pelras 1996:49; 74-75). Rute pelayaran menunjukkan hubungan
kekuatan yang berganti-ganti dan kemudian orang Bajo mengikuti orang
Bugis sampai ke perairan Australia (Lapian 1999: 90). Lombard menyatakan
bahwa tempat-tempat orang Bajo saat ini berada di lokasi pangkalanpangkalan
lanun abad ke-19 (Lombard 1999, Jilid 2: 77). Lapian mengajukan
sebuah hipotesis yaitu jaringan operasi perompak lanun dari
Filipina Selatan yang menyerang Pulau Kangean dan Bawean serta tempat-
tempat lain itu memanfaatkan jalur pelayaran yang telah di-rintis oleh
orang Bajo. Menurut saya, aktifitas lanun Asia Tenggara berinteraksi
dengan jaringan lanun internasional yang berpusat di Laut Merah (Henry
Every), Laut Karibia (Edward English), Carolina Selatan (Stede Bonnet),
dan Kawasan Pantai Utara Australia (Botting 1978).
MENJADI BAJAK LAUT (LANUN)
Istilah lanun berasal dari bahasa Mangindanao, yang berarti orang
Danau, yaitu Lanao, wilayah yang terletak di tengah Pulau Mindanao,
Filipina Selatan. Mereka adalah seasal dengan sukubangsa Maranao yang
mendiami wilayah sekitar Lanao. Orang Spanyol menyebut Illano atau Illanun
terhadap orang Maranao, Mangindano, Tausug dan Samal (di Kepulauan
Sulu) sedangkan orang Tausug menyebut semua orang Mangindano,
Maranao, dan Ilanun sebagai Iranun (Lapian 1987:253). Rekonstruksi historis
menunjukkan bahwa orang Mangindano melakukan kegiatan bajak
laut dan menguasai wilayah perairan Riau, Lauat Jawa, Selat Sulawesi
sampai dengan Papua (Wall 1879: 17-108). Khusus, kebudayaan suku
Tausug ada kemiripan dengan Madura dalam hal kekerasan, penegakan
harga diri, dan pertunjukan keperkasaan laki-laki (Wiyata 2000). Masyarakat
yang menjadi sasaran bajak laut Mangindano menyebut kegiatan
bajak laut dengan lanun. Kosa kata lanun menjadi kosa kata baru di wilayah-
wilayah yang menjadi sasaran bajak laut Mangindano. Pada tahapan
berikutnya terjadi rivalitas antara bajak laut Balangingi (nama pulau dari
gugusan Pulau Samales yang merupakan bagian dari Kepulauan Sulu
antara Pulau Jolo dan Basilan), Papua, Tobelo (Halmahera), Johor sehingga
di wilayah kekuasan mereka terdapat kosa kata baru yang masingmasing
Balangingi, Belo, Johoro dari Joho dan lanong (lanun) yang semuanya
mempunyai arti bajak laut (Lapian 1987). Istilah lain dari bajak
laut adalah gorra (perampok), patadi-tadi (tadi -tadi adalah perahu kecil
274 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
yang dulu dipakai nodong). Balangingi dalam bahasa Makassar sekarang
dipakai untuk menyebut seseorang yang berperilaku kasar atau kurang
ajar. Dalam bahasa Sangir dikenal istilah malanginging untuk menyebut
orang Mangindano sebagai bahasa sasahara (tabu menyebut Mangindano
terutama ketika di tengah laut). Dengan sendirinya dalam perkembangan
selanjutnya, terdapat berbagai istilah yang menunjuk pada wilayah asal
dan kegiatan bajak laut, seperti lanun, Balangingi, Belo, dan Johoro. Lanun
sebagai kosa kata masyarakat yang menjadi sasaran bajak laut
khususnya dari Mangindano dan digunakan untuk menyebut bajak laut.
Bajak laut oleh orang Kangean disebut lanun. Artinya, di wilayah ini kegiatan
bajak laut dilakukan oleh orang Mangindano. Munculnya kosakata
itu berhubungan dengan latarbekalang kesejarahan masyarakat setempat
dalam hal ini bajak laut. Lapian belum menjelaskan relasi antara istilah
masyarakat setempat untuk menyebut kegiatan bajak laut dengan asal bajak
laut (1987:261-267). Pertalian istilah lanun dengan orang Mangindanao
bisa diamati dengan jelas di Pulau Kangean (Bustami 2002).
Bajak laut (lanun) sering diidentikkan dengan pirata (bahasa Spanyol,
Portugis, dan Italia), pirate (bahasa Inggris dan Perancis), piraat atau
zeerover (bahasa Belanda), pirat atau Seerauber (bahasa Jerman). Pengertian
pirata berbeda dengan korsario (bahasa Perancis corsair; Inggris corsair
atau privateer; Spanyol, Portugis dan Italia corsario; Belanda corsair
atau kaper. Seorang korsario melakukan tindakan kekerasan di laut dengan
membawa kewenangan negara (lettre de marque) ketika terjadi peperangan
antardua negara. Perbedaan antara pirata dan korsario sangat tipis
karena korsario bermotif politik sedangkan pirata berada dalam tataran
kriminal. Pirata merupakan fenomena yang terjadi di Laut Tengah jauh
sebelum ada korsario yang dikenal sejak abad ke 15. Ada korsario berwajah
pirata dan ada pirata yang berperangai sebagai korsario (Lapian
1987: 217-218). Bajak laut mencakup kedua pengertian tersebut. Bajak
laut adalah orang yang melakukan kekerasaan di laut tanpa mendapat
wewenang dari pemerintahanya untuk melakukan tindakan itu Pirata
communis hostis omnium (Bajak laut musuh bersama ummat manusia).
Munculnya bajak laut menurut pemikiran kaum evolusionis merupakan
kelanjutan dari perburuan, tingkat ekonomi yang paling awal. Perburuan
bagi masyarakat bahari berupa penangkapan ikan yang selanjutnya
berkembang pada penangkapan segala sesuatu yang ditemukan di laut
Bustami, Folklor Kangean 275
yang luas. Wilayah laut dianggap sebagai tempat berusaha yang bebas,
seperti halnya daerah hutan bagi masyarakat darat yang mengembara di
hutan untuk mengumpulkan makanan. Masing-masing orang atau kelompok
yang berusaha merasa bebas untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Perkembangan peradaban yang lebih tinggi melihat tindakan pengambilan
secara bebas di laut dinyatakan sebagai perompakan, bajak laut. Konstruksi
yang lain adalah evolusi ekonomi, yaitu tahapan awal dari perdagangan
(Lapian 1987). Perdagangan terjadi karena ada kebutuhan barang
yang tidak dipunyai sehingga harus diperoleh dari pihak yang mempunyainya.
Pemenuhan kebutuhan itu dilakukan dengan tukar menukar dan
pada masyarakat yang lebih maju diperoleh dengan jalan jual beli. Ketika
pertukaran berlangsung secara tidak seimbang maka terjadilah perampasan-
yang di laut dilakukan oleh bajak laut dan perang. Perang dilakukan
dengan bajak laut, terlebih ketika kekuatan angkatan laut dianggap tidak
memadai untuk menghadapi musuh. Contoh dalam kasus ini adalah Perang
Kemerdekaan Belanda melawan Spanyol selama 80 tahun lamanya,
Belanda bekerja sama dengan kelompok yang dikenal sebagai Watergeuzen
(Bahasa Inggris sea-beggars, Perancis mengenal la guerre de
course (perang korsario) yang telah membantu pemerintah Perancis dalam
pe-rang-perangnya pada abad XVII dan XVIII yang menjadikan pelabuhan
St. Malo sebagai pangkalan kapal korsario. Perang kemerdekaan
Amerika Latin pada abad XIX menggunakan corsarios insurgentes
(korasario pemberontak). Mexico, Kuba, dan Venezuela merupakan operasi
bajak laut sekaligus basis pemberontak dan pejuang kemerdekaan
melawan kekuatan koloial Spanyol (Lapian 1987: 222).
Konstruksi yang lain adalah jiwa petualang masyarakat dalam konteks
mencari pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berpetualang merupakan
etos masyarakat (bahasa Yunani peirates yang berasal dari bahasa Latin
adalah pinjaman dari peirates dalam bahasa Yunani Kuno yang berarti
berusaha, berpetualang (Lapian 1987: 225). Dalam konteks ini ada institusi
balas dendam, seperti dalam sejarah Yunani Kuno-masa Demosthenes
(abad IV SM) sehingga sulit dibedakan pihak mana yang mulai membajak
dan pihak mana yang mengadakan serangan balasan.
Bajak laut, menurut Raffless berkaitan dengan kebiasaan orang Melayu
the prevalence of piracy of the Malayan coast is an evil of ancient
date, and intimately connected with the Malayan habits. The old Malayan
276 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
romances, and the fragment of their traditional history constantly refer
with pride to political cruisez an honourable occupation, worthy of being
folllowed by young princes and nobels (Raffless 1817:I:232). Di
samping itu bajak laut berhubungan dengan agama dengan latar belakang
perang salib dan bulan sabit (la Croix et la Croissant) serta Watergeuzen
antara Belanda yang Protestan dan Spanyol yang Katolik. Rafless mengaitkannya
pertarungan antara Nasrani dengan Islam the state of the eastern
populatin and the intolerant spirit of the religion of Islam have eminently
tended to increase the practice Bahkan, the suppression of piracy
has long been a subject to which attention of the Dutch has been vigorously
directed,.. theprepondirance of the English navy on the shores of all
the eastern isles (Raffless 1817: 232-252). Serangan bajak laut Viking
pada abad VIII dari Skandinavia ke arah selatan, ke Pantai Eropa barat
dengan sasaran biara-biara yang tersebar di pantai Inggris, Skotlandia, dan
Irlandia. Motif agama bisa menjelaskan fenomena itu berhubung Viking
masih pagan sedangkan yang diserang adalah bangunan Katolik. Padahal
serangan itu bermotif ekonomi karena biara sebagai pusat perhimpunan
harta kekayaan.
Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang
ramai tetapi kurang mendapat pengawasan penguasa setempat sehingga
terjadi raiding bersama-sama dengan trading (Held 1957). Bajak laut
ditentukan terjadinya kemerosotan berbagai aspek kehidupan yang disebabkan
oleh perubahan konstelasi politik, perdagangan, ekonomi dengan
hadirnya orang Eropa di Asia Tengara sehingga untuk melangsungkan
hidupnya menjadi bajak laut Eropa ada di darat dan bajak laut menjadi
penguasa di lautan (Majul 1973). Rubin menegaskan bahwa istilah bajak
laut merupakan konstruksi barat yang diberikan kepada sekelompok orang
yang mengancam kekuasaan mereka atau melawan penguasa yang legal
(Rubin 1970). Penguasaan laut merupakan ajang pertempuran wacana dan
perang-perang di atas laut. Kemerosotan kekuasaan tradisional dipakai
oleh Majul untuk menjelaskan serangan bajak laut yang dilancarkan oleh
raja dan para datuk di Filipina Selatan (Majul 1973). Veth menyatakan
bahwa serangan itu berhubungan dengan faktor agama Islam dalam perlawanannya
terhadap kekuasaan barat (Lapian 1997: 24).
Hal yang berbeda dinyatakan oleh Warren bahwa bajak laut itu berhubungan
dengan pesatnya perdagangan di Asia Tenggara dengan maBustami,
Folklor Kangean 277
suknya Inggris menggantikan monopoli VOC sehingga membutuhkan
banyak tenaga kerja. Bajak laut berusaha untuk mencari tenaga kerja untuk
dijadikan budak (Reid 2004). Lombard mengaitkan dengan adanya
konflik antara dua sistem Barat dan Asia. Bajak laut meningkat sesudah
tahun 1815 dan berlangsung sampai akhir abad ke-19 (yang berkurang kekuatannya
sesudah tahun 1860. Para perdagangan muslim di Selat Malaka
(Reteh, Kepulauan Lingga), di Kalimantan (Sambas, Kota Waringin),di
Kepulauan Sulu dan Mindanao telah memanfaatkan resesi Eropa pada
awal abad ke-19 dan banyak berkembang; oleh karena ambisi-ambisi baru
dari kekuatan-kekuatan kolonial, mereka terpaksa melakukan perang di
atas laut dan datang merampoki pantai-pantai Jawa sampai menyerang
konvoi-konvoi yang melewati jalan raya Daendels yang berada di dekat
pantai (Lombard 1996: 78).
Lapian melihat bajak laut dari sudut kekerasan yang melekat pada
setiap tindakan perompakan. Kekerasan itu dimonopoli oleh negara. Jika
dijalankan oleh orang lain, maka tindakan itu dilihat sebagai tindakan
kriminal. Konstelasi politik dunia maritim di Asia Tenggara bervariasi
maka harus dijabarkan menjadi tiga tipologi di setiap kawasan, yaitu orang
Laut, bajak laut, dan raja laut (Lapian 1987). Bajak laut adalah sebutan
yang dipakai oleh sebuah pemerintahan yang telah mapan kepada
pihak yang melanggar kedaulatan mereka. Padahal pada masa itu terjadi
persaingan hegemoni berbagai pihak termasuk penguasa kolonial memperebutkan
atau penguasaan kedaulatan atas suatu kawasan (Lapian
1997:24-35). Data dari Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (l851)
menginformasikan kegagalan Belanda melindungi penduduk Bawean dari
serangan bajak laut (Hoëvell (ed), l851: 1:158-165). Harian Locomotief,
17 Oktober 1904 menyatakan adanya pergeseran kegiatan bajak laut dari
laut Jawa ke Selat Madura dan pelakunya sebagian besar orang Madura
(Meyier 1905:1:90). Aktifitas bajak laut di kawasan Pulau Kangean dan
Selat Madura itu berkaitan dengan perjuangan Trunojoyo. Trunojoyo
bekerja sama dengan bajak laut Makassar untuk melawan hegemoni Mataram
yang didukung oleh Belanda (Graaf 1940: 56-86).
LANUN, KANGEAN, DAN INTEGRASI KAWASAN
Informasi tentang bajak laut Asia, yang tertua berasal dari Fa-Hsien
yang dalam perjalanannya pulang dari India ke Cina (413-414) mengata278
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
kan bahwa Laut di Asia Tenggara penuh dengan bajak laut, barang siapa
bertemu dengan mereka akan menemui ajalnya (Lapian, 1987). Analisis
bajak laut di kawasan Indonesia dan Asia Tenggara khususnya di Laut Sulawesi
telah dikaji oleh Lapian (l987: 225-318).
Dalam konteks bajak laut (lanun) Mangindano dijelaskan bahwa faktor
keterlibatan mereka dalam kegiatan bajak laut adalah Perang Moro.
Orang Mangindano sejak abad XVI berkonfrontasi dengan Spanyol dalam
kerangka Perang Moro (Lapian 1987: 258-259). Bajak laut Mangindano
melakukan aksinya dengan memanfaatkan angin timur laut menuju
wilayah bagian barat sehingga di Serawak dikenal the pirate wind atau
angin lanun (Lapian 1987: 270). Keterlibatan Mangindano dalam kegiatan
bajak laut berhubungan dengan tindakan Belanda untuk menguasai perdagangan
timah yang dikuasai orang Bugis, seperti yang dinyatakan dalam
Tuhfah al-Nafis pada bulan Mei 1787. Sejak itu di perairan Riau dan pantai
timur Sumatera dikuasai lanun yang berpusat di Reteh (antara Muara
Sungai Jambi dan Indragiri). Dari pangkalan ini setiap tahun mereka
merompak di perairan sekitarnya (Wall 1879: 30-34).
Pada abad XIX, dijelaskan bahwa orang darat yang bersikap defensif
berbalik menjadi pelaut yang agresif seperti orang Tobelo. Keterlibatan
mereka dalam jaringan bajak laut merupakan balas dendam terhadap serangan
bajak laut Magindano dan Balangingi. Bajak laut Tobelo terlibat
dalam serangan ke Bawean dekat Kepulauan Kangean melalui Manggarai,
dalam bulan Oktober 1850. Pada waktu itu 15 perahu bajak laut berukuran
besar mendarat di pantai barat laut pulau itu, ketika sebagian besar
dari penduduk persis sedang berlayar ke luar pulau untuk berdagang. Pada
kesempatan itu bajak laut berhasil menangkap sejumlah besar dari penduduk
beberapa kampung Bawean yang kemudian dijadikan budak (Koloniaal
Verslag 1850:18; Wall 1879: 27-28). Javasche courant (l844) menginformasikan
bajak laut Mangindanao menyerang Pulau Bawean (Roon
1917). Pendapat Anthony Reid yang menyatakan kehadiran bajak laut
dengan perdagangan budak seiring dengan meningkatnya permintaan
tenaga kerja lebih bisa diterima.
Bajak laut yang lain berangkat dari Kepulauan Sulu dan Mindanao
Selatan melalui Selat Makassar dengan menggunakan angin timur laut sehingga
Kerajaan Kalimantan Timur, seperti Berau, Bulungan bekerja atau
terpaksa bekerja sama (Lapian 1987:272). Pangkalan bajak laut yang
Bustami, Folklor Kangean 279
penting adalah Toli-Toli, Sulawesi Utara. Di sebelah menyebar selat Makasar
bajak laut mempunyai pangkalan sehingga lalu lintas ini tidak aman
bagi pelayaran niaga pada awaktu itu. Menurut orang setempat, mereka
semuanya disebut Mangindano. Di bagian selatan dari Selat Makasar
mereka mendirikan pangkalan di Pulau Laut (wilayah Kalimantan Selatan)
dekat Pulau Kangean. Menurut Pangeran Said Al Habsyi (1830) orang
Lanun di Pulau Laut bekerja sama dengan pemimpin Bangkalan (Kalimantan
Selatan, sic Madura) yang disebut Haji Jawa, yang berasal dari
Kalimantan (sic Madura), dan orang Bajau serta orang Tobelo dari Halmahera.
Pulau Laut digunakan untuk menjelajah perairan Laut Flores dan
Laut Jawa.
Pada tahun 1828 penduduk Pulau Kangean, sekitar 300 orang, diangkut
ke Pulau Laut untuk dijual sebagai budak. Said Hassan al Habsyi
pernah bertemu dengan sebuah eskader Lanun di Selat Bali yang berasal
dari pangkalan Pulau Laut itu. Di kawasan Laut Flores pun ada pangkalan
di beberapa pulau kecil, seperti tanah Jampea, Kalao, Bonerate, Puau Riung
di lepas pantai Flores Barat (Manggarai) sebagai pusat perompak
Mangindao, Balangingi, dan Tobelo (Lapian 1987: 274). Pada tahun
1850-1876 diinformasikan tentang serangan bajak laut dari Sulu dan
Manggarai ke Pulau Kangean dan Bawean (Waal 1879: 28-30).
Rekonstruksi kesejarahan menunjukkan posisi Pulau Kangean yang
berada di tengah persimpangan beberapa pangkalan bajak laut (lanun)
maka bisa diterima kalau orang Kangean mempunyai folklor tentang lanun.
Orang Kangean menyebut lanun setiap kali ditanyakan tentang terjadinya
pemukiman penduduk di perbukitan (dera ). Pola perkampungan
di dera dikelilingi pagar hidup, semak belukar dengan satu pintu besar
yang terbuat dari kayu untuk melindungi diri dari serangan lanun. Keberadaan
satu pintu masuk mempunyai fungsi mengawasi aktifitas warga
dan orang luar. Ketika ada serangan lanun, pintu itu ditutup dan warga
berusaha mempertahankan diri. Pemukiman penduduk di daerah perbukitan
(dera ) tersebar di Kangajen Dera , Torjek Dera , Temor Jengjeng
Dera , Cangkramaan, Deandung (Bustami 2001).
Kemudian, pemukiman penduduk terdapat di wilayah pesisir dihuni
oleh lanun. Wilayah pesisir itu bagi lanun berfungsi sebagai pengisi bahan
bakar perahu, bahan makanan (feeder points), dan penyimpanan hasil bajakan
lanun. Pemukiman di wilayah pesisir ini saat itu dihuni oleh ketu280
BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
runan lanun dari hasil kawin mawin dengan perempuan di kawasan itu
dan dari berbagai wilayah yang telah ditaklukkan. Menurut informan, R.
Imran, 70 tahun, desa Angon-Angon menyatakan bahwa dialek orang pesisir
di Kangean itu kasar karena keturunan lanun bahkan di wilayah itu
terdapat nama Pulau Pagerungan yang berasal dari Pegarongan. Banyak
orang Kangean yang ditangkap oleh lanun dan dijadikan budak termasuk
di antaranya Untung Surapati. Pernyataan itu bila dibandingkan dengan
sumber Belanda tidak seluruhnya benar karena dialek yang kasar dalam
konteks wilayah tersebut tidak selalu berhubungan dengan keberadaan lanun
semata melainkan Kangean dijadikan sebagai wilayah pembuangan
dan penjara bagi para penjahat dan lawan-lawan politik pada masa penjajahan
Belanda (Farjon 1980). Konstruksi ini sampai saat ini terasa, yaitu
stigma sosial terhadap Pulau Kangean. Setiap pejabat yang diangkat di
Kangean dianggap dibuang. Orang Kangean dikonstruksi lebih rendah dan
dinyatakan sebagai orang pulau (oreng polo) dan mereka menyebut orang
dari daratan (dereden) sebagai orang kota (oreng kotta) dan orang negara
(oreng nagera). Keberadaan Untung Surapati sebagai mantan budak merupakan
fakta sejarah tetapi.dari mana dia berasal menimbulkan silang
pendapat.
STRATEGI MENAKLUKKAN LANUN
Masyarakat Kangean mempunyai strategi untuk mengalahkan lanun
dengan cara membuat kue lanun (jejen lanun) yang berwarna hitam yang
terbuat dari bahan-bahan ketan (palotan), parutan kelapa (parodenna nyiong)
dan gula jawa (gule jebe). Proses pembuatannya dengan cara ketan
dicampur dengan abu sisa pembakaran batang padi, disaring digunakan
sebagai zat pewarna ketan sehingga berwarna hitam. Kemudian, dibungkus
daun pisang muda, dan dikukus sampai keras. Cara menyajikannya
dengan cara, gulungan ketan yang berwarna hitam yang telah masak
diiris-iris, di atas irisan-irisan itu ditabur parutan kelapa, dan diberi cairan
gula jawa. Penyelesaian dengan menciptakan makanan ini mempunyai
makna simbolik, yaitu keberanian untuk melawan kejahatan lanun.
Makanan (jejen lanun) pada dasarnya menyatakan secara simbolis, yaitu
solidaritas kelompok (Foster dan Anderson 1978: 268-271). Orang
Kangean menyatakan solidaritas kelompok untuk melawan kejahatan lanun
secara simbolis melalui jejen lanun.
Bustami, Folklor Kangean 281
Saat ini, simbol lanun mengalami pergeseran, yaitu dari lanun sebagai
bajak laut menjadi orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan
yang tergolong kriminal. Tindakan kekerasan terjadi karena adanya interaksi
sosial antarpenduduk yang menimbulkan pelecehan terhadap harga
diri. Tindakan kekerasan ini menimbulkan konflik.
Kuantitas dan kualitas konflik cenderung menguat di kampung pesisir,
yang dihubungkan dengan asal usul penduduk yang merupakan keturunan
lanun. Di sisi lain, letak kampung pesisir yang berada di jalur transportasi
menjadikan para pengguna jalan ketika masuk wilayah ini memilih
dahulukan selamat dengan cara hati-hati, mengendarai kendaraan
pelan-pelan, tidak membunyikan klakson keras-keras, dan memberikan
kesempatan pada penyeberang jalan yang sering menyeberang mendadak.
Kesalahan dengan menabrak penyeberang apapun alasannya yang disalahkan
adalah pengendara. Perlakuan terhadap pengendara yang melanggar
tidak sebanding dengan kuantitas kesalahan bahkan terjadi konflik
antardesa yang menimbulkan korban jiwa. Konflik itu bermula pada kepentingan
perseorangan yang berkembang menjadi konflik antarkerabat
dan ujung-ujungnya adalah konflik antar desa, seperti yang terjadi antara
desa De andung dan Kangajen. Meluasnya medan konflik berhubungan
dengan solidaritas mekanis dan adanya institusi malo (pelecehan terhadap
harga diri). Pembelaan dan usaha mempertahankan diri sering yang dijadikan
pilihan adalah carok. Carok memunculkan repro-duksi kekerasan,
balas dendam yang berkepanjangan.Penyelesaian konflik yang lain dilakukan
melalui tokoh-tokoh lokal, aparat negara, instiusi keislaman, dan
jaringan kekerabatan.
Saat ini, orang Kangean telah mengalami perubahan kebudayaan. Perubahan
kebudayaan berhubungan dengan migrasi internasional, kebudayaan
konsumen melalui mekanisme, integrasi dan ekspansi pasar luar
negeri (embeng-barang bekas impor) yang dimantapkan dengan media
televisi dengan antena parabola, institusi pendidikan dan ritual pembangunan
lainnya, perkawinan lintas budaya, orang Kangean muncul
menjadi pengusaha yang menguasai aset-aset di kota Sumenep sehingga
menuju pada pemantapan ideologi multikulturalisme. Ideologi multikulturalisme
di Kangean bukan sekedar berbicara kesetaraan jender melainkan
pentingnya penghargaan terhadap manusia sejati tanpa batas-batas
jenis kelamin, agama, jenis pekerjaan, aliran keagamaan, dan status sosial.
282 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
Kontekstualisasi ideologi multikulturalisme di Kangean sedang berproses
menuju kehidupan yang diidealisasikan.
KESIMPULAN
Cerita lanun yang tersebar di kalangan orang Kangean merpresentasikan
respon kehidupan mereka. Cerita itu diwariskan secara turun temurun
melalui lisan dan sebagian lisan. Cerita itu termasuk jenis folklor lisan
yang berbeda dengan mite, legenda, dan dongeng karena cerita itu tidak
sakral dan realistis. Cerita lanun di kawasan Pulau Kangean sesuai dengan
informasi dari sumber sejarah kolonial. Cerita Cerita lanun menjelaskan
tentang sejarah pemukiman masyarakat dan relasi kuasa dengan kekuatan
politik, ekonomi, dan kebudayaan orang Kangean dengan masyarakat dari
berbagai kawasan dalam jaringan dunia serta terjadinya integrasi di kawasan
tersebut. Orang Kangean telah berinteraksi dengan kekuatan sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat di kawasan lainnya dalam
kawasan yang meluas dan mengglobal dalam jaringan sistem lanun dunia.
Dengan sendirinya pemberian label lokal pada orang Kangean harus dikaji
ulang.masyarakat Orang Kangean mempunyai strategi untuk mengalahkan
lanun dengan cara membuat kue lanun (jejen lanun). Makanan ini mempunyai
dua makna, yaitu realitas dan simbolik. Strategi adaptasi simbolik
ini berpotensi menciptakan integrasi sosial. Cerita lanun yang tersebar
pada orang Kangean setelah melalui kritik sumber sejarah, intern dan ekstern
ternyata bisa dijadikan sebagai salah satu sumber sejarah kawasan.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Taufiq (ed), 1984. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Arsip Nasional Republik Indonesia. 1978. Memori Serah Jabatan 1921-1930
(Jawa Timur dan Tanah Kerajaan). Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No.
10. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Azra, Azyumardi, 1999. Historiografi Kontemporer Indonesia . Dalam Chambert-
Loir Henri dan Hasan Muarif Ambari (eds), Panggung Sejarah Persembahan
kepada Prof. Dr. Denys Lombard Jakarta: Yayasan Obor IndoneBustami,
Folklor Kangean 283
sia, hal. 63-78.
Azra, Azyumardi, 1996. Jaringan Ulama Nusantara dan Timur Tengah.
Bandung: Mizan.
Badan Pusat Statistik Sumenep, 1999. Sumenep dalam Angka l999. Sumenep:
BPS.
Botting, Douglas dan Tim Editor Time Life Books. 1978. The Seafarers The Pirates.
Virginia: Time-Life Books.
Braudel, Fernand, 1976. The Mediterranean and the Mediterranean World in the
Age of Philip II. Vol.I dan II. New York/ Hagertown: San FRansisco
Burke, Peter. 2001. Sejarah dan Teori Sosial. terj. Jakarta: YOI.
Bustami, Abd. Latif, 1990. Masuk dan Berkembangnya Islam di Pulau Madura
Majalah IKA IKIP MALANG. Edisi ke-5. hal. 1-23.
Bustami, Abd. Latif, 1990. Santri sebagai Penguasa: Dinasti Bendara Saud di
Kasultanan Sumenep Pada Abad XVIII Jurnal Pesantren P3M. Jakarta.
No.1.Vol.VII/1990. hal. 66-77.
Bustami, Abd. Latif, 1997. Sejarah, Etos, dan Perilaku Sosial Orang Madura
dalam Aswab Mahasin,dkk (eds). Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka
Budaya Jawa. Jilid 2. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal. hal. 323-356
Bustami, Abd. Latif, 2001. Sadeging: Pandangan Orang Kangean terhdap Penyembuhan
Penyakit ISPA , Tesis Tidak Dipublikasikan, Program Studi Antropologi.
Depok: FISIP Universitas Indonesia.
Bustami, Abd. Latif, 2002. Folklor Kangean: Cerita Lanun (Bajak Laut) dan Integrasi
Sosial . Makalah disajikan pada Simposium Internasional Jurnal
Antropologi Indonesia III, di Universitas Udayana, Denpasar, tanggal 16-19
Juli 2002.
Bustami, Abd. Latif, 2003. Islam Kangean . Jurnal Antropologi Indonesia No.72
(XXVII) Sept-Des 2003, hal.72-82.
Cartesao, Armando. 1944. The Sumo Oriental of Tome Pires. An Account of the
East. 2 Jilid. XXXIX dan XL terj. Armando Cartesao. London: Hakluyt
Society.
Chudury. K.N. 1988. Trade and Civilization in the Indian Ocean. An Economic
History from the Rise of Islam to 1750. Cambridge: Cambridge University
Press
Danandjaja, J, 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, Dan lain-lain,
Cetakan keenam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Farjon, I. 1980 Bibliographical Series Madura and Surrounding Islands. Annotated
Bibliography.KITLV 9. The Hague Martinus Nijhoff.
Foster. George M dan Barbara Gallatin Anderson. 1978. Medical Anthropology.
New York: Chichester, Brisbane & Toronto: Joh Wiley & Son.
Graaf. H.J.de. 1940. De Opkomst van Raden Troenadjaja . Djawa 20 (l940)1:
284 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
56-86
Graaf, H.J. de dan Pigeaud. Th. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa.terj. Jakarta:
Grafiti Press dan KITLV
Hageman, Czn, J. 1858 Bijdragen tot de kennis van de residentie Madoera ,
Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie 20 (l858) Vol.1: 321-352 dan Vol. 2: 1-
26.
Held,G.J. 1957. The Papuas of Waropen. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Hoëvell, W.R.van (ed), 1851. Bawean en de zeeroovers Tijdschrift voor Nederlandsch-
Indie 13 (l851) Vol. 1:158-165. Kolonial Verslag 1850:18.
Lapian, A.B., 1987. Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
Abad XIX , Disertasi Tidak Dipublikasikan, Yogyakarta: UGM
Lapian, A.B., 1997 Dunia Maritim Asia Tenggara. dalam Abdullah dan Edy
Sedyawati (eds). Sejarah Indonesia Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan
Asing. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya lembaga
Penelitian Universitas Indonesia, hal.17-40.
Lapian, A.B.,1999. Nusantara: Silang Bahari . dalam Chambert-Loir Henri dan
Hasan Muarif Ambari (eds), Panggung Sejarah Persembahan kepada Prof.
Dr. Denys Lombard Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 79-92
Lapian, A.B., 1992. Sejarah Nusantara Sejarah Bahari . Pidato Pengukuhan
Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 4 Maret
Lombard Denys L, 1993. Rêver l Asie: Ezotisme et littérature coloniale aux Indes,
en Indochine et en Insulinde. Paris: Ecole des Hautes Etudes en Sciences
Sociales.
Lombard Denys L. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya. Jilid 2. Terj. Jakarta: PT.
Gramedia
Majul, C. Adib. 1973. Muslim in the Philipines. Manila: St. Mary s Publishing.
Meyier, J.E.de (ed). 1905. Zeeroof in Straat Madoera . De Indische Gids 27.
Vol.1: 90
Pelras, Christian. 1996. The Bugis. Oxford: Blackwell.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia, 6 Jilid,
Edisi IV. Jakarta: PN. Balai Pustaka
Raffelss, T.S. 1817. History of Java, Jilid I, Kual Lumpur: Oxford University
Press, reprint 1976.
Reid, Anthony, 1992. Asia Tenggara Kurun Niaga 1450-1680. Volume 1:Tanah
di bawah Angin. Terj. Mochtar Pabotinggi, Jakarta: YOI
Reid, Anthony, 2000. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Volume 1:
Ekspansi dan Krisis. Terj. Jakarta: YOI
Reid, Anthony, 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Terj. Jakarta: LP3ES
Rivai, Faizah Soenarto. 1993. Seabad dengan Emilio Salgari Seri Roman Perompak
Melayu dalam Chambert-Loir Henri dan Hasan Muarif Ambari
Bustami, Folklor Kangean 285
(eds), Panggung Sejarah Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 383-412.
Roon, J.Van. 1917. Enkele aantekeningen omtrent het eiland Bawean Jaarverslag
Top Diens over 1916.Vol.12. Batavia . hal. 264-273.
Rubin,Alfred. 1974. Piracy, paramountcy, and protectorates. Kuala Lumpur:
Penerbit Universitas Malaya.
Sahlins. Marshal. 1994. Goodbye to Tistes Tropique: Ethnography in the Context
of Modern World History dalam Borofsky (ed). Assesing Cultural Anthropology.
New York: McGraw-Hill, Inc. hal.377-395.
Shoper, David E. 1977. The Sea nomads A Study of maritime boat people of
Southeast Asia. Singapore: National Museum.
Tarling, Nicholas. 1963. Piracy and Politics in the Malay World A Study of British
imperialism in nineteenth century South East Asia. Melbourne: F.M.
Chesire.
Tjiptoatmodjo, Soetjipto, F.A. 1983. Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura
(Abad XVII sampai Medio Abad XIX) . Disertasi Tidak Dipublikasikan.
Yogyakarta: Unversitas Gadjah Mada.
Waal, E.de. 1879. Bijdrage tot de kroniek en statistieck van den zeeroof in Nederlansch
Indie, met Staatkundige toelichtingen Onze Indische financien
Nieuwe reeks aanteekeningen. Vol.3. s-Gravenhage, Nijhoff, hal. 17108.
Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World Sustem: Capitalist Agriculture
and the Origins of the European World Economy in the Sixteenth Century.
New York: Academic Press.
Warren. James F. 1985. The Zulu Zone, 1768-1898: The Dynamics of External
Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asia
Maritime State. Quezon City: New Day Publishers
Wiyata, A. Latief. 2002. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang
Madura. Yogyakarta: LkiS.
0 comments:
Post a Comment