WACANA FEMINISME (INTISARI)
Wednesday, May 1, 2013
0
comments
Banyak teman-teman blogger mengeluhkan karya mereka di-copast orang lain, betapa kecewanya mereka, postingan yang dibuat dengan susah payah, hanya dihargai dengan ctr+c, ctrl+v , padahal, postingan menarik tidak selalu hasil copast... sekilas berita..hehe..
Kali ini postingan saya masih seputar wacana feminisme ( yang jelas bukan hasil copast ), dengan referensi buku-buku bacaan dirumah.
---------------------------FEMINISME POSTRADISIONAL?-----------------------------
Melekatnya politik, dalam diskursus budaya :
Imperialisme kontemporer, yang nampak dalam realitas, adalah sebuah imperium yang hegemonik, dan praktiknya sudah sampai pada tingkat maksimum, dan kelihatan seperti sebuah kekerasan yang dirasionalisir, naik ke level lebih tinggi dan serius melalui api dan pedang, dan juga melalui upaya pengontrolan hati/sikap dan pikiran (sugestif). Dan maknanya didefinisikan oleh tindakan gabungan dari kompleks industri-militeristik dan pusat budaya hegemonik di dunia barat (western style).
Semuanya didirikan atau dibangun pada tingkat pembangunan yang maju, dicapai oleh monopoli dan capital finance, juga didukung oleh keuntungan dari revolusi technology dan science, serta revolusi industri yang pernah dicapai (terjadi). Kilas balik pemikiran feminisme kali ini. (di translate dengan bebas dari buku Frans Manon)
Saat kalangan aktivis perempuan sedang berjuang menuntut ruang public ( baca: gerak penuh) yang lebih besar bagi kau perempuan agar tidak terkungkung dalam ruang domestik (yang mungkin sengaja diciptakan untuk mereka). Seorang postkolonial intelektual, sekaligus peneliti feminisme: Frans Manon, justru dengan lantang menyerukan kebalikannya. Sudah saatnya para perempuan ( dunia ketiga) untuk membebaskan diri dari penjara luas yang disebut ruang public. Dan, kaum perempuan ( feminis) disarankan untuk melakukan resistensi dari dalam ruang privat, terhadap kolonialisme.
Menurut Frans Manon, ruang public ibarat penjara ideologis yang telah dijaga dan dikuasai oleh Kolonialisme, dan satu-satunya cara melawan kungkungan kolonialisme adalah kembali keruang privat, dimana, kaum perempuan dapat melakukan resistensinya.
Maka, hal-hal yang dulunya dianggap dan dikecam sebagai alat pemasungan kebebasan perempuan seperti : Hijab, Harem, khitan perempuan, urusan dapur, poligami, pekerjaan melayani kaum liyan ( laki-laki ) kini diharapkan menjadi ‘senjata” dalam arena kontestasi, dimana kaum perempuan bisa menunjukkan perlawanan dan menyiasati kekuatan kolonialisme dunia pertama.
Pada era reformasi, aktivis feminisme merasa khawatir akan kebangkitan otonomi daerah yang dianggap bisa mengancam eksistensi perempuan dalam bertindak dan bersosialisasi. Seperti tuntutan syariat Islam, dan kembalinya lembaga-lembaga adat yang menguasai percaturan politik daerah, dan yang khususnya adalah: bangkitnya hal-hal yang dulunya dianggap masuk wilayah privat dan domestik, kini mencuat naik level beserta gugatan terhadap kekuasaan sentral seperti etnisitas, kesukuan, dan keagamaan.
Sebab, dalam sudut pandang feminis, perempuan adalah “identitas Universal” melampaui batas, etnis, suku, dan keagamaan. Bangkitnya lembaga adat dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan kaum perempuan, “meminggirkan” kaum perempuan dari dunia public, kembali ke ruangan privat, sebuah janji dan syarat terbentuknya idealisme dari negara modern. Bahkan kadangkala menimbulkan konflik antar perempuan pembela tradisi dan prempuan penentang tradisi ( saya tidak berani mengambil contoh tradisi/adat yang mengekang perempuan, silakan cari resensi masing-masing)
“ it is white man who creates the negro, but it is the negro who creates Negritude “ by: Frans Manon.
Yang jelas, kebangkitan etnisitas, kesukuan, dan keagamaan dilihat (oleh kaum feminis) sebagai antitesis atas identitsa subjek perempuan koheren, utuh, integral, tunggal, dan sekaligus secara universal. Di tulis kembali dengan bebas pendapat Ahmad baso dalam buku “ Perempuan Multikultural”
Pernah ditulis :”Budaya yang menomorsatukan laki-laki, dan masih dijadikan tradisi yang kuat, itulah yang menempatkan ‘pendritaan’ perempuan diseluruh dunia, yang bersifat lintas agama, kesukuan, dan bermacam jargon dan atribut lainnya 9dikutip secara bebas)”
Sekian dulu untuk postingan kali ini, silakan comment, atau kalau mau secara pribadi, kirim email ke : goldenbukang@gmail.com
Warm regards,...........
Kali ini postingan saya masih seputar wacana feminisme ( yang jelas bukan hasil copast ), dengan referensi buku-buku bacaan dirumah.
---------------------------FEMINISME POSTRADISIONAL?-----------------------------
Melekatnya politik, dalam diskursus budaya :
Imperialisme kontemporer, yang nampak dalam realitas, adalah sebuah imperium yang hegemonik, dan praktiknya sudah sampai pada tingkat maksimum, dan kelihatan seperti sebuah kekerasan yang dirasionalisir, naik ke level lebih tinggi dan serius melalui api dan pedang, dan juga melalui upaya pengontrolan hati/sikap dan pikiran (sugestif). Dan maknanya didefinisikan oleh tindakan gabungan dari kompleks industri-militeristik dan pusat budaya hegemonik di dunia barat (western style).
Semuanya didirikan atau dibangun pada tingkat pembangunan yang maju, dicapai oleh monopoli dan capital finance, juga didukung oleh keuntungan dari revolusi technology dan science, serta revolusi industri yang pernah dicapai (terjadi). Kilas balik pemikiran feminisme kali ini. (di translate dengan bebas dari buku Frans Manon)
Saat kalangan aktivis perempuan sedang berjuang menuntut ruang public ( baca: gerak penuh) yang lebih besar bagi kau perempuan agar tidak terkungkung dalam ruang domestik (yang mungkin sengaja diciptakan untuk mereka). Seorang postkolonial intelektual, sekaligus peneliti feminisme: Frans Manon, justru dengan lantang menyerukan kebalikannya. Sudah saatnya para perempuan ( dunia ketiga) untuk membebaskan diri dari penjara luas yang disebut ruang public. Dan, kaum perempuan ( feminis) disarankan untuk melakukan resistensi dari dalam ruang privat, terhadap kolonialisme.
Menurut Frans Manon, ruang public ibarat penjara ideologis yang telah dijaga dan dikuasai oleh Kolonialisme, dan satu-satunya cara melawan kungkungan kolonialisme adalah kembali keruang privat, dimana, kaum perempuan dapat melakukan resistensinya.
Maka, hal-hal yang dulunya dianggap dan dikecam sebagai alat pemasungan kebebasan perempuan seperti : Hijab, Harem, khitan perempuan, urusan dapur, poligami, pekerjaan melayani kaum liyan ( laki-laki ) kini diharapkan menjadi ‘senjata” dalam arena kontestasi, dimana kaum perempuan bisa menunjukkan perlawanan dan menyiasati kekuatan kolonialisme dunia pertama.
Pada era reformasi, aktivis feminisme merasa khawatir akan kebangkitan otonomi daerah yang dianggap bisa mengancam eksistensi perempuan dalam bertindak dan bersosialisasi. Seperti tuntutan syariat Islam, dan kembalinya lembaga-lembaga adat yang menguasai percaturan politik daerah, dan yang khususnya adalah: bangkitnya hal-hal yang dulunya dianggap masuk wilayah privat dan domestik, kini mencuat naik level beserta gugatan terhadap kekuasaan sentral seperti etnisitas, kesukuan, dan keagamaan.
Sebab, dalam sudut pandang feminis, perempuan adalah “identitas Universal” melampaui batas, etnis, suku, dan keagamaan. Bangkitnya lembaga adat dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan kaum perempuan, “meminggirkan” kaum perempuan dari dunia public, kembali ke ruangan privat, sebuah janji dan syarat terbentuknya idealisme dari negara modern. Bahkan kadangkala menimbulkan konflik antar perempuan pembela tradisi dan prempuan penentang tradisi ( saya tidak berani mengambil contoh tradisi/adat yang mengekang perempuan, silakan cari resensi masing-masing)
“ it is white man who creates the negro, but it is the negro who creates Negritude “ by: Frans Manon.
Yang jelas, kebangkitan etnisitas, kesukuan, dan keagamaan dilihat (oleh kaum feminis) sebagai antitesis atas identitsa subjek perempuan koheren, utuh, integral, tunggal, dan sekaligus secara universal. Di tulis kembali dengan bebas pendapat Ahmad baso dalam buku “ Perempuan Multikultural”
Pernah ditulis :”Budaya yang menomorsatukan laki-laki, dan masih dijadikan tradisi yang kuat, itulah yang menempatkan ‘pendritaan’ perempuan diseluruh dunia, yang bersifat lintas agama, kesukuan, dan bermacam jargon dan atribut lainnya 9dikutip secara bebas)”
Sekian dulu untuk postingan kali ini, silakan comment, atau kalau mau secara pribadi, kirim email ke : goldenbukang@gmail.com
Warm regards,...........