Bajak Laut??... ternyata kenyataan
Friday, March 1, 2013
0
comments
asal muasal kata "Lanun"
FOLKLOR KANGEAN:
SUATU KAJIAN CERITA BAJAK LAUT (LANUN)
SEBAGAI SUMBER SEJARAH KAWASAN
Abd. Latif Bustami
Abstract: This article discusses the pirate folklore as regional historical
sources in the Kangean island. The stories of pirates may explain
the history of people settlement and power relation with political,
economic, and cultural aspects between the Kangean island and
the other regions in entering the world system. The result of this interaction
shows an integration process in this region. The Kangean
people have cultural strategies to reduce pirates by producing handmade
cake (jejen lanun). The cake has two meanings: realistic and
symbolic meanings. This symbolic adaptation strategy has potentially
made social integration possible. The use of a historical-sources-based
critique of the pirate stories has yielded s research result showing that
the stories may be taken as historical sources for regional historiography.
Key words: Kangean, pirate folklore, regional historical sources,
regional historiography.
Pulau Kangean secara administratif termasuk Kabupaten Sumenep,
Madura. Kabupaten Sumenep terbagi menjadi dua wilayah, yaitu daratan
(dereden) dan kepulauan (polo). Pembagian wilayah ini berhubungan
konstruksi orang dari kedua wilayah itu, yaitu orang daratan (oreng dereden)
dan orang pulau (oreng polo). Konstruksi menentukan hubungan
Abd. Latif Bustami adalah Dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Negeri
Malang. Dosen Luar Biasa dalam Matakuliah Kebudayaan dan Institusi Lokal; Antropologi
Agama; Hubungan Antarsukubangsa; Perubahan Sosial dan Pembangunan Program
Pasca-sarjana, dan Folklor Indonesia pada Program D3 Pariwisata FISIP UI.
268 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
antarkedua wilayah tersebut. Orang daratan memandang lebih tinggi dari
orang kepulauan, sedangkan orang kepulauan menyebut orang daratan
dengan orang negara yang dijadikan acuan dalam bertingkah laku (oreng
nagera).
Cara pandang orang itu berhubungan dengan interaksi antara pusat
kekuasaan dengan bagian wilayah kekuasaan. Pusat kekuasaan sejak
Sumenep di bawah Singasari sampai saat ini berada di Sumenep daratan
(Bustami 1990: 66-77; 1997:323-330). Pada masa kasultanan Sumenep
dan kolonial, Pulau Kangean dijadikan sebagai tempat pembuangan lawan-
lawan politik penguasa lokal dan kolonial serta narapidana (Farjon
l980: 21-22; Arsip Nasional 1978:CLXX, 247). Pulau Kangean merupakan
Australianya Madura .
Penduduk Pulau Kangean berjumlah 78.468 jiwa, dengan kepadatan
penduduk sebesar 173,11 orang per km, angka ketergantungan 93,66 %,
dan jumlah rumah tangga sejumlah 22.300 buah. Orang Kangean seluruhnya
beragama Islam (Sumenep dalam Angka 1999: 15-17; 73). Ajaran
Islam diinterpretasi dan diaktualisasikan dalam kerangka kebudayaan
Kangean sehingga terjadi variasi. Secara kultural, Pulau Kangean memiliki
kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan Madura
(Bustami 2001:7-9). Perbedaan itu nampak pada bahasa, asal usul, dan
identitas sosial. Bahasa Kangean mempunyai tingkatan bahasa ako-kao,
nira-nae, dan kaule-panjennengan. Konstruksi ako-kao, eson-sede, esonkakeh
merupakan komunikasi yang dipergunakan oleh seseorang yang
sederajat dan teman akrab. Konstruksi nira-nae, die-dika digunakan oleh
mertua kepada menantu dengan tujuan penghormatan sedangkan kaulepanjennengngan
ditujukan kepada seseorang yang lebih tua, tidak sederajat
sebagai penghormatan. Konstruksi yang terkahir ini disebut besa alos
(bahasa tenggi) dan didominasi oleh bahasa Madura (Bustami 2003: 73-
74).
Asal-usul orang Kangean merupakan campuran orang-orang yang
berasal dari Madura, Sapudi (Podey) -Raas, Eropa, Cina, Arab, Banjar,
Melayu, Bawean, Jawa, Bali, Bugis-Makassar, Mandar, Mangindanao,
dan Sulu. Kedatangan orang Madura, Sapudi-Raas di Pulau Kangean berhubungan
dengan faktor pekerjaan, perdagangan, dan perkawinan. Orang
Eropa berhubungan dengan pemantapan kolonialisme dan penyebaran
agama Kristen Protestan. Di Pulau Kangean terdapat kampong Pandita
Bustami, Folklor Kangean 269
FOLKLOR KANGEAN:
SUATU KAJIAN CERITA BAJAK LAUT (LANUN)
SEBAGAI SUMBER SEJARAH KAWASAN
Abd. Latif Bustami
Abstract: This article discusses the pirate folklore as regional historical
sources in the Kangean island. The stories of pirates may explain
the history of people settlement and power relation with political,
economic, and cultural aspects between the Kangean island and
the other regions in entering the world system. The result of this interaction
shows an integration process in this region. The Kangean
people have cultural strategies to reduce pirates by producing handmade
cake (jejen lanun). The cake has two meanings: realistic and
symbolic meanings. This symbolic adaptation strategy has potentially
made social integration possible. The use of a historical-sources-based
critique of the pirate stories has yielded s research result showing that
the stories may be taken as historical sources for regional historiography.
Key words: Kangean, pirate folklore, regional historical sources,
regional historiography.
Pulau Kangean secara administratif termasuk Kabupaten Sumenep,
Madura. Kabupaten Sumenep terbagi menjadi dua wilayah, yaitu daratan
(dereden) dan kepulauan (polo). Pembagian wilayah ini berhubungan
konstruksi orang dari kedua wilayah itu, yaitu orang daratan (oreng dereden)
dan orang pulau (oreng polo). Konstruksi menentukan hubungan
Abd. Latif Bustami adalah Dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Negeri
Malang. Dosen Luar Biasa dalam Matakuliah Kebudayaan dan Institusi Lokal; Antropologi
Agama; Hubungan Antarsukubangsa; Perubahan Sosial dan Pembangunan Program
Pasca-sarjana, dan Folklor Indonesia pada Program D3 Pariwisata FISIP UI.
268 BAHASA DAN SENI, Tahun 32, Nomor 2, Agustus 2004
antarkedua wilayah tersebut. Orang daratan memandang lebih tinggi dari
orang kepulauan, sedangkan orang kepulauan menyebut orang daratan
dengan orang negara yang dijadikan acuan dalam bertingkah laku (oreng
nagera).
Cara pandang orang itu berhubungan dengan interaksi antara pusat
kekuasaan dengan bagian wilayah kekuasaan. Pusat kekuasaan sejak
Sumenep di bawah Singasari sampai saat ini berada di Sumenep daratan
(Bustami 1990: 66-77; 1997:323-330). Pada masa kasultanan Sumenep
dan kolonial, Pulau Kangean dijadikan sebagai tempat pembuangan lawan-
lawan politik penguasa lokal dan kolonial serta narapidana (Farjon
l980: 21-22; Arsip Nasional 1978:CLXX, 247). Pulau Kangean merupakan
Australianya Madura .
Penduduk Pulau Kangean berjumlah 78.468 jiwa, dengan kepadatan
penduduk sebesar 173,11 orang per km, angka ketergantungan 93,66 %,
dan jumlah rumah tangga sejumlah 22.300 buah. Orang Kangean seluruhnya
beragama Islam (Sumenep dalam Angka 1999: 15-17; 73). Ajaran
Islam diinterpretasi dan diaktualisasikan dalam kerangka kebudayaan
Kangean sehingga terjadi variasi. Secara kultural, Pulau Kangean memiliki
kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan Madura
(Bustami 2001:7-9). Perbedaan itu nampak pada bahasa, asal usul, dan
identitas sosial. Bahasa Kangean mempunyai tingkatan bahasa ako-kao,
nira-nae, dan kaule-panjennengan. Konstruksi ako-kao, eson-sede, esonkakeh
merupakan komunikasi yang dipergunakan oleh seseorang yang
sederajat dan teman akrab. Konstruksi nira-nae, die-dika digunakan oleh
mertua kepada menantu dengan tujuan penghormatan sedangkan kaulepanjennengngan
ditujukan kepada seseorang yang lebih tua, tidak sederajat
sebagai penghormatan. Konstruksi yang terkahir ini disebut besa alos
(bahasa tenggi) dan didominasi oleh bahasa Madura (Bustami 2003: 73-
74).
Asal-usul orang Kangean merupakan campuran orang-orang yang
berasal dari Madura, Sapudi (Podey) -Raas, Eropa, Cina, Arab, Banjar,
Melayu, Bawean, Jawa, Bali, Bugis-Makassar, Mandar, Mangindanao,
dan Sulu. Kedatangan orang Madura, Sapudi-Raas di Pulau Kangean berhubungan
dengan faktor pekerjaan, perdagangan, dan perkawinan. Orang
Eropa berhubungan dengan pemantapan kolonialisme dan penyebaran
agama Kristen Protestan. Di Pulau Kangean terdapat kampong Pandita
Bustami, Folklor Kangean 269