DRAMATISIR SUASANA DALAM ACARA TALKSHOW TIONGKOK
Wednesday, August 3, 2016
0
comments
Sudah lumrah tentunya, disetiap negara di penjuru bumi memiliki yang namanya
saluran televisi dengan bermacam jenis acara, dari berita kriminal, soap opera,
Sinetron, quiz, sampai yang namanya Talkshow. Pada sebuah stasiun TV milik
negara Tiongkok, ada sebuah Talkshow yang menampilkan pasangan menikah, Shi Wei
Jie sang wanita menderita penyakit kanker getah bening stadium lanjut, sehingga
gaya berjalannya terganggu, dan umurnya sudah divonis oleh dokter yang
menangani penyakitnya, sang pria, Ding Yang Jun adalah tipe lelaki yang
menjunjung tinggi kesetiaan, skenario dibuat berdasarkan kenyataan yang ada,
mereka berdua benar-benar bekerja di Korea, penghasilan mereka (join income)
cukup besar, dan memiliki seorang anak.
"Aku sungguh mencintai istriku, dan tak akan pernah berubah sampai nyawa memisahkan kami berdua" demikian pernyataan dari Ding Yang Jun, penyakit istrinya sudah menghabiskan biaya perobatan lebih dari 300.000 Yuan kalau dirupiahkan sekitar 300 juta, musik romantis bergema lewat piano untuk menambah suasana romantis, pada tahap ini, penonton di Studio dan di rumah mulai masuk dalam jalan cerita yang dibangun berkat instrumental sugestion.
Dengan basa-basi khas presenter, sang MC memuji style berpakaian Ding Yang Jun, yang tampak mengenakan tuxedo hitam yang sangat formal, sebab sudah tersusun dalam skenario awal, bahwa akan ada "wedding party" yang meriah, hal seperti ini lumrah dalam setiap acara Talkshow. Benar, apa yang ditulis oleh Sigmund Freud, bahwa sugesti dapat ditimbulkan oleh semua indera manusia, dan yang paling berpengaruh adalah pengelihatan langsung dan pendengaran, dan yang berlaku dalam acara ini adalah musik yang romantis, lembut, dan tentunya indah, serta visualisasi yang terpampang dihadapan penonton, bagaimana tubuh ringkih sang wanita, dan ekspresi wajah si pria, mimik muka MC dan para komentator di studio, hal-hal tersebut sepertinya sudah diatur sedemikian rupa untuk mendukung klimaks dari acara, atau biasa disebut Stage effect. Didalam hingar-bingarnya dunia entertainment, lumrah sebuah stage ditata sesuai tema acara, demi mendukung background dan meyakinkan audience.
Pada session berikutnya : Gambaran seorang bintang tamu ( yang dibayar mahal seperti pasangan yang diceritakan disini ) tidak hanya selalu menyanyi, mereka memamerkan rasa sayang, kasih, cinta, dan segala macam perasaan sejenis, tetapi juga dituntut memiliki “taste” dalam meng-ekspresikan perasaannya lewat mimik muka, body languange serta intonasi suara. Dan pada adegan berikutnya diumumkan juga pada pemirsa dan penonton di studo, bahwa anak dari pasangan tersebut memperoleh beasiswa dari sebuah perusahaan ternama, yang pastinya perusahaan tersebut ingin mempublikasikan diri sebagai perusahaan yang peduli sosial, dan "menebeng" acara Talkshow ini ( rating acara talkshow ini sangat tinggi di Tiongkok, menurut searching Google ), sang anak juga sempat diwawancarai, dan dengan gaya khas anak-anak menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dengan polos, point untuk dramatisir suasana semakin terbuka lebar, yakinkah anda anak dengan nasib dan situasi yang sama memperoleh hak yang sama?
Coba kita bayangkan sisi etis dari acara seperti ini, keluarga adalah sebuah "Perusahaan" yang notabene memilki rahasia, fakta, dan berita terkini, mempublikasikan semua (bahkan keseluruh dunia) sepertinya kurang etis, tapi hal tersebut sudah terlepas dari "feedback" yang diberikan oleh Penayang ( Stasiun TV ) yang adalah pihak komersial. Dari satu sisi benar, bahwa "proyek percontohan" seperti ini betul-betul diperlukan, bahwa keluarga yang harmonis adalah keluarga yang saling mencintai, menyayangi, selalu tabah dalam setiap cobaan, saling menguatkan, memberi harapan, dan memahami kelemahan dan kelebihan masing-masing anggota keluarga, bagaimana kita bersikap pada saat-saat yang menyedihkan. Banyak manfaat yang bisa kita ambil dari cerita yang mereka sajikan, atau untuk melonggarkan argumen, mungkin budaya Tiongkok berbeda dengan budaya Indonesia, jadi life style kita berbeda-beda, penyuguhan sebuah kisah realita bisa menjadi sebuah tradisi yang biasa atau bahkan mungkin menjadi trend.
Pada session berikutnya, " Apakah anda berdua sudah bersiap dan bertekad melaksanakan acara peneguhan pernikahan?" tanya sang MC dengan mimik yang benar-benar sedih.
" Iya, saya siap melakukan upacara peneguhan pernikahan kami.." Yang Jun menjawab dengan penuh keyakinan, dan musik romantis kembali bergema, sang pengantin berpasangan dan sudah mengenakan atribut lengkap bergaya pengantin barat, berjalan teratur ( pastinya sudah latihan di studio ), smoke gun (alat penyembur asap) diaktifkan untuk menciptakan kabut tebal yang di design mengambang diatas lantai, dengan tertatih, sang wanita ( Shie Wei Jie ) berjalan di samping Ding Yang Jun, Kamera di alihkan ke wajah para komentator Talkshow, dan air matapun tumpah, bagi penonton yang "cemen", pasti langsung down karena terharu. seluruh studio (dan mungkin juga pemirsa di rumah ) menangis terharu atau bahkan sedih, mengingat penyakit yang diderita pengantin wanita yang umurnya sudah divonis tidak lama lagi. Dan perlu juga kita ketahui, bahwa, tradisi Tionghoa ada yang disebut, pernikahan tamasya, suatu jenis pernikahan yang dianggap resmi, tanpa perlu ritual keagamaan, cukup dihadiri oleh keluarga, sahabat, dan dilengkapi dengan photo acara pernikahan.
Semua anggota keluarga juga ditampilkan pada session ini, saudara-saudari kedua mempelai ikut dihadirkan untuk meyakinkan seluruh audience ( baik di studio ataupun dirumah ), si anak ditanya, apakah nama panggilan kesayangannya untuk om atau tante, sang anak menjawab om Thoutou ( gendut ), mengundang tawa penonton, ini jelas sebagai anti klimaks dari jalan ceritanya, untuk sementara, perasaan penonton yang sentimentil “terobati”.
Walaupun bersuara ala kadarnya, Ding Yang Jun bernyanyi untuk istrinya ( atau memang tuntutan skenario ), suasana bertambah mengharukan, pas seperti yang diinginkan oleh EO ( event organizer ) atau production house yang memproduksi acara.
Gambaran yang ditulis disini bukan provokasi anti Talkshow, tapi lebih dari pada kritisi terhadap opini public terhadap acara Talkshow seperti ini, dan acara-acara serupa ada diseluruh dunia, apalagi dengan niat mau menjelek-jelekkan sebuah acara, mohon maaf untuk ibu-ibu atau siapapun yang menyukai acara talkshow, artikel ini hanya untuk mem-balance-kan opini agar berimbang, antara realita acara, komposisi, tema, dan sisi psikologis dari penonton, terlepas dari itu semua itu, sisi positif dari tontonan TV seperti ini adalah “hiburan” penyaluran hobby menonton TV, dan mengisi waktu senggang. Dari sisi psikologis, semua hal yang kita lihat dan dengar adalah informasi, otomatis, informasi adalah sebuah kebutuhan, kita diajak memahami sebuah situasi sulit, bagaimana cara membangkitkan sebuah optimisme dari sebuah kepasrahan, terlihat dari wajah mereka yang terlibat, memberikan dukungan semangat hidup bagi sang pengantin wanita, dan dukungan moril bagi pengantin pria. Sekali lagi mohon maaf, tulisan ini hanya mengambil contoh dramatisir acara talkshow ala Tiongkok, dan sudut pandang penulis adalah anti mainstream (menolak arus utama/mencoba alternatif lain dalam penyampaian persepsi).
"Aku sungguh mencintai istriku, dan tak akan pernah berubah sampai nyawa memisahkan kami berdua" demikian pernyataan dari Ding Yang Jun, penyakit istrinya sudah menghabiskan biaya perobatan lebih dari 300.000 Yuan kalau dirupiahkan sekitar 300 juta, musik romantis bergema lewat piano untuk menambah suasana romantis, pada tahap ini, penonton di Studio dan di rumah mulai masuk dalam jalan cerita yang dibangun berkat instrumental sugestion.
Dengan basa-basi khas presenter, sang MC memuji style berpakaian Ding Yang Jun, yang tampak mengenakan tuxedo hitam yang sangat formal, sebab sudah tersusun dalam skenario awal, bahwa akan ada "wedding party" yang meriah, hal seperti ini lumrah dalam setiap acara Talkshow. Benar, apa yang ditulis oleh Sigmund Freud, bahwa sugesti dapat ditimbulkan oleh semua indera manusia, dan yang paling berpengaruh adalah pengelihatan langsung dan pendengaran, dan yang berlaku dalam acara ini adalah musik yang romantis, lembut, dan tentunya indah, serta visualisasi yang terpampang dihadapan penonton, bagaimana tubuh ringkih sang wanita, dan ekspresi wajah si pria, mimik muka MC dan para komentator di studio, hal-hal tersebut sepertinya sudah diatur sedemikian rupa untuk mendukung klimaks dari acara, atau biasa disebut Stage effect. Didalam hingar-bingarnya dunia entertainment, lumrah sebuah stage ditata sesuai tema acara, demi mendukung background dan meyakinkan audience.
Pada session berikutnya : Gambaran seorang bintang tamu ( yang dibayar mahal seperti pasangan yang diceritakan disini ) tidak hanya selalu menyanyi, mereka memamerkan rasa sayang, kasih, cinta, dan segala macam perasaan sejenis, tetapi juga dituntut memiliki “taste” dalam meng-ekspresikan perasaannya lewat mimik muka, body languange serta intonasi suara. Dan pada adegan berikutnya diumumkan juga pada pemirsa dan penonton di studo, bahwa anak dari pasangan tersebut memperoleh beasiswa dari sebuah perusahaan ternama, yang pastinya perusahaan tersebut ingin mempublikasikan diri sebagai perusahaan yang peduli sosial, dan "menebeng" acara Talkshow ini ( rating acara talkshow ini sangat tinggi di Tiongkok, menurut searching Google ), sang anak juga sempat diwawancarai, dan dengan gaya khas anak-anak menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dengan polos, point untuk dramatisir suasana semakin terbuka lebar, yakinkah anda anak dengan nasib dan situasi yang sama memperoleh hak yang sama?
Coba kita bayangkan sisi etis dari acara seperti ini, keluarga adalah sebuah "Perusahaan" yang notabene memilki rahasia, fakta, dan berita terkini, mempublikasikan semua (bahkan keseluruh dunia) sepertinya kurang etis, tapi hal tersebut sudah terlepas dari "feedback" yang diberikan oleh Penayang ( Stasiun TV ) yang adalah pihak komersial. Dari satu sisi benar, bahwa "proyek percontohan" seperti ini betul-betul diperlukan, bahwa keluarga yang harmonis adalah keluarga yang saling mencintai, menyayangi, selalu tabah dalam setiap cobaan, saling menguatkan, memberi harapan, dan memahami kelemahan dan kelebihan masing-masing anggota keluarga, bagaimana kita bersikap pada saat-saat yang menyedihkan. Banyak manfaat yang bisa kita ambil dari cerita yang mereka sajikan, atau untuk melonggarkan argumen, mungkin budaya Tiongkok berbeda dengan budaya Indonesia, jadi life style kita berbeda-beda, penyuguhan sebuah kisah realita bisa menjadi sebuah tradisi yang biasa atau bahkan mungkin menjadi trend.
Pada session berikutnya, " Apakah anda berdua sudah bersiap dan bertekad melaksanakan acara peneguhan pernikahan?" tanya sang MC dengan mimik yang benar-benar sedih.
" Iya, saya siap melakukan upacara peneguhan pernikahan kami.." Yang Jun menjawab dengan penuh keyakinan, dan musik romantis kembali bergema, sang pengantin berpasangan dan sudah mengenakan atribut lengkap bergaya pengantin barat, berjalan teratur ( pastinya sudah latihan di studio ), smoke gun (alat penyembur asap) diaktifkan untuk menciptakan kabut tebal yang di design mengambang diatas lantai, dengan tertatih, sang wanita ( Shie Wei Jie ) berjalan di samping Ding Yang Jun, Kamera di alihkan ke wajah para komentator Talkshow, dan air matapun tumpah, bagi penonton yang "cemen", pasti langsung down karena terharu. seluruh studio (dan mungkin juga pemirsa di rumah ) menangis terharu atau bahkan sedih, mengingat penyakit yang diderita pengantin wanita yang umurnya sudah divonis tidak lama lagi. Dan perlu juga kita ketahui, bahwa, tradisi Tionghoa ada yang disebut, pernikahan tamasya, suatu jenis pernikahan yang dianggap resmi, tanpa perlu ritual keagamaan, cukup dihadiri oleh keluarga, sahabat, dan dilengkapi dengan photo acara pernikahan.
Semua anggota keluarga juga ditampilkan pada session ini, saudara-saudari kedua mempelai ikut dihadirkan untuk meyakinkan seluruh audience ( baik di studio ataupun dirumah ), si anak ditanya, apakah nama panggilan kesayangannya untuk om atau tante, sang anak menjawab om Thoutou ( gendut ), mengundang tawa penonton, ini jelas sebagai anti klimaks dari jalan ceritanya, untuk sementara, perasaan penonton yang sentimentil “terobati”.
Walaupun bersuara ala kadarnya, Ding Yang Jun bernyanyi untuk istrinya ( atau memang tuntutan skenario ), suasana bertambah mengharukan, pas seperti yang diinginkan oleh EO ( event organizer ) atau production house yang memproduksi acara.
Gambaran yang ditulis disini bukan provokasi anti Talkshow, tapi lebih dari pada kritisi terhadap opini public terhadap acara Talkshow seperti ini, dan acara-acara serupa ada diseluruh dunia, apalagi dengan niat mau menjelek-jelekkan sebuah acara, mohon maaf untuk ibu-ibu atau siapapun yang menyukai acara talkshow, artikel ini hanya untuk mem-balance-kan opini agar berimbang, antara realita acara, komposisi, tema, dan sisi psikologis dari penonton, terlepas dari itu semua itu, sisi positif dari tontonan TV seperti ini adalah “hiburan” penyaluran hobby menonton TV, dan mengisi waktu senggang. Dari sisi psikologis, semua hal yang kita lihat dan dengar adalah informasi, otomatis, informasi adalah sebuah kebutuhan, kita diajak memahami sebuah situasi sulit, bagaimana cara membangkitkan sebuah optimisme dari sebuah kepasrahan, terlihat dari wajah mereka yang terlibat, memberikan dukungan semangat hidup bagi sang pengantin wanita, dan dukungan moril bagi pengantin pria. Sekali lagi mohon maaf, tulisan ini hanya mengambil contoh dramatisir acara talkshow ala Tiongkok, dan sudut pandang penulis adalah anti mainstream (menolak arus utama/mencoba alternatif lain dalam penyampaian persepsi).
Segala harapan masih harus diperjuangkan, komitmen
dibutuhkan dalam menghadapi semua
cobaan, semoga bermanfat untuk semua.