Abad ke-20 adalah babak paling berdarah di
sepanjang sejarah dunia.
Selama masa ini, untuk pertama kalinya umat
manusia diperkenalkan pada gagasan "perang dunia."
Secara keseluruhan,
Perang Dunia pertama dan kedua telah menelan korban 65 juta jiwa. Sekitar
separuh dari korban ini adalah warga sipil yang tidak ada hubungannya dengan
kedua perang ini. Anak-anak, wanita, dan orang tua yang tak berdaya sama-sama
dibantai secara kejam. Sehingga, kita mungkin bertanya, bagaimana dunia bisa
berada di tengah-tengah penyakit jiwa yang begitu meluas seperti
itu?
Bagaimana bisa manusia begitu mudahnya mengorbankan bangsanya
sendiri maupun bangsa lain? Pemikiran apakah di balik kekejaman ini? Di dalam
situs ini, Anda dapat menemukan jawabannya.
Perang telah ada hampir sejak awal keberadaan umat manusia itu sendiri.
Kebutuhan ekonomi dan politik yang saling bersaing telah menggiring manusia
untuk mengangkat senjata melawan satu sama lain. Senjata dan tentara telah
berkembang berdampingan, sehingga perang telah tumbuh semakin dahsyat dan
merusak.
Namun, sampai abad ke-20, perang masih berbentuk "perang garis depan", di
mana para serdadu dari kedua belah pihak bertemu di kedua sisi medan perang dan
pertempuran hanya berlangsung di sekitar medan ini. Dalam bentrokan ini, hanya
serdadu sajalah yang terbunuh.
Tetapi di abad ke-20, sejenis perang baru telah lahir, perang yang sasarannya
tidak hanya para serdadu, namun juga rakyat banyak. Akibat perang seperti itu
dirasakan tidak hanya di beberapa negara saja, namun cenderung telah menyeret
seluruh dunia ke dalam mulut menganga yang mengerikan.
Sepanjang sejarah, perang telah menimbulkan korban dan penderitaan yang hebat
pada masyarakat. Sejumlah nabi yang diutus kepada manusia sebagai utusan Allah
telah memperingatkan mereka akan malapetaka dan kekisruhan ini.
Di Eropa abad ke-19, penjajahan tersebar luas. Kekuatan bangsa Eropa seperti
Inggris dan Prancis telah membangun kekuasaan penjajahan di keempat penjuru
dunia. Jerman, yang telah membangun kesatuan politiknya lebih lama daripada
negara-negara lain, bekerja keras untuk menjadi pelopor dalam perlombaan ini.
Pada awal abad ke-20, hubungan yang didasarkan pada kepentingan telah membagi
Eropa menjadi dua kutub yang berlawanan. Inggris, Prancis, dan Rusia berada di
satu pihak, dan Jerman beserta Kekaisaran Austria-Hungaria yang diperintah oleh
keluarga Hapsburg asal Jerman berada di pihak lainnya.
Franz Ferdinand, istri dan
anaknya
|
Ketegangan antara kedua kelompok ini semakin hari semakin meningkat, hingga
akhirnya suatu pembunuhan pada tahun 1914 menjadi pemicu perang. Pangeran Franz
Ferdinand, pewaris tahta Kekaisaran Austria-Hungaria, dibunuh oleh kaum
nasionalis Serbia yang berusaha menekan pengaruh kekaisaran tersebut di daerah
Balkan.
Dalam kurun waktu yang amat singkat, hasutan setelah peristiwa ini menyeret
seluruh benua Eropa ke dalam kancah peperangan. Pertama, Austria-Hungaria
menyatakan perang kepada Serbia. Rusia, sekutu abadi bangsa Serbia kemudian
menyatakan perang terhadap Austria-Hungaria.
Lalu satu demi satu, Jerman, Inggris, dan Prancis, memasuki peperangan. Sumbu
sudah dinyalakan.
Bahkan sebelum perang dimulai, Dewan Jenderal Jerman telah membuat rencana
dan memutuskan untuk menguasai Prancis melalui serangan mendadak. Untuk mencapai
tujuan ini, orang-orang Jerman memasuki Belgia dan kemudian melintasi perbatasan
memasuki Prancis. Menanggapi dengan cepat, pasukan Prancis menghentikan pasukan
Jerman di tepi Sungai Marne dan memulai suatu serangan balik.
Walaupun kedua pasukan menderita kerugian parah, tidak ada kemajuan di garis
depan pertempuran. Baik serdadu Prancis maupun Jerman bersembunyi di parit untuk
melindungi diri. Akibat serangkaian serangan yang berlarut-larut hingga beberapa
bulan, sekitar 400.000 serdadu Prancis terbunuh. Korban meninggal dari serdadu
Jerman mencapai 350.000.
Perang parit menjadi strategi utama Perang Dunia Pertama. Selama beberapa
tahun berikutnya, bisa dikatakan para serdadu hidup dalam parit-parit ini.
Kehidupan di sana benar-benar sulit. Para prajurit hidup dalam ancaman
terus-menerus dibom, dan mereka tak henti-hentinya menghadapi ketakutan dan
ketegangan yang luar biasa. Mayat mereka yang telah tewas terpaksa dibiarkan di
tempat-tempat ini, dan para serdadu harus tidur di samping mayat-mayat tersebut.
Bila turun hujan, parit-parit itu dibanjiri lumpur.
Lebih dari 20 juta serdadu yang bertempur di Perang Dunia I mengalami keadaan
yang mengerikan di dalam parit-parit ini, dan sebagian besar meninggal di
sana.
Dalam beberapa minggu setelah dimulai oleh serangan Jerman pada tahun 1914,
garis barat perang ini sebenarnya terpaku di jalan buntu.
Para serdadu yang bersembunyi di parit-parit ini terjebak dalam jarak yang
hanya beberapa ratus meter jauhnya satu sama lain. Setiap serangan yang
dilancarkan sebagai upaya mengakhiri kebuntuan ini malah menelan korban jiwa
yang lebih banyak.
Di awal tahun 1916, Jerman mengembangkan rencana baru untuk mendobrak garis
barat. Rencana mereka adalah secara mendadak menyerang kota Verdun, yang
dianggap sebagai kebanggaan orang Prancis. Tujuan penyerangan ini bukanlah
memenangkan perang, melainkan menimbulkan kerugian yang besar di pihak Tentara
Prancis sehingga melemahkan perlawanan mereka. Kepala staf Jerman Falkenhayn
memperkirakan bahwa setiap satu serdadu Jerman saja dapat membunuh tiga orang
serdadu Prancis.
Serangan dimulai pada tanggal 21 Febuari. Para pemimpin Jerman memerintahkan
serdadunya untuk "keluar dari parit mereka," namun tiap serdadu yang
melakukannya justru telah tewas atau sekarat dalam sekitar tiga menit. Meskipun
penyerangan berlangsung tanpa henti selama berbulan-bulan, Jerman gagal
menduduki Verdun.
Secara keseluruhan, kedua pihak kehilangan sekitar satu juta serdadu. Dan
dengan pengorbanan itu, garis depan hanya berhasil maju sekitar 12 kilometer.
Satu juta orang mati demi selusin kilometer.
Inggris membalas serangan Jerman di Verdun dengan Pertempuran Somme.
Pabrik-pabrik di Inggris membuat ratusan ribu selongsong meriam.
Rencana Jendral Douglas Haig mendorong Pasukan Inggris untuk menghujani
dengan pengeboman terus-menerus selama seminggu penuh, yang diikuti dengan
serangan infanteri. Dia yakin mereka akan maju sejauh 14 kilometer di hari
pertama saja dan kemudian menghancurkan semua garis pertahanan Jerman dalam satu
minggu.
Serangan dimulai pada tanggal 1 Juni. Pasukan meriam Inggris menggempur
pertahanan Jerman selama seminggu tanpa henti. Di akhir minggu tersebut, para
perwira Inggris memerintahkan serdadunya memanjat keluar dari parit. Namun,
selama pengeboman tersebut para serdadu Jerman berlindung dengan rapat di
kedalaman parit persembunyian mereka sehingga tidak terlumpuhkan dan
menggagalkan rencana Inggris. Begitu serdadu Inggris bergerak melintasi garis
depan, serdadu Jerman muncul menyerang mereka dengan senapan mesinnya. Sejumlah
total 20.000 serdadu Inggris tewas dalam beberapa jam pertama perang tersebut.
Di dalam kegelapan malam itu, daerah di antara dua garis pertempuran penuh
dengan puluhan ribu mayat dan juga serdadu yang terluka, yang mencoba merangkak
mundur.
Pertempuran Somme tidak berlangsung dua minggu seperti yang direncanakan
Jendral Haig, melainkan lima bulan. Bulan-bulan ini tidak lebih daripada
pembantaian. Para jendral bertubi-tubi mengirimkan gelombang demi gelombang
serdadu mereka menuju kematian yang telah pasti. Di akhir pertempuran, kedua
belah pihak secara keseluruhan telah kehilangan 900.000 prajuritnya. Dan untuk
ini, garis depan bergeser hanya 11 kilometer. Para serdadu ini dikorbankan demi
11 kilometer saja.
Kedua belah pihak melakukan lebih banyak serangan lagi selama Perang Dunia I,
dan setiap serangan ini menjadi pembantaian diri sendiri. Di kota Ipres di
Belgia saja, berlangsung tiga pertempuran. Setengah juta serdadu tewas di
pertempuran ketiga saja.
Setiap serangan berakibat sama: Ribuan nyawa melayang hanya untuk maju
beberapa kilometer.